Datanglah kepada Rakyat, Belajar Bersama Rakyat, Hidup Bersama Rakyat
, Mulailah dari apa yang diketahui dan dimiliki Rakyat



Tentang Sekolah Politik Kerakyatan


LATAR BELAKANG :


Dua di antara masalah dasar terkait dengan persoalan sosio-politik Indonesia kontemporer adalah lemahnya kepemimpinan dan miskinnya inisiatif.

Distribusi sumberdaya masih senjang, tatanan politik masih belum kukuh, dan belum kunjung pasti tentang kapan harapan kesejahteraan akan terwujud.

Meskipun abad baru telah lahir, generasi berkarakter kerdil masih menjadi aktor-aktor utama dalam perjalanan Indonesia.

Melahirkan pemimpin berkarakter kerakyatan kuat menjadi suatu tantangan bersama. Suatu tantangan yang mesti diupayakan untuk diwujudkan melalui suatu kerja strategis, dan bukan semata ditunggu kedatangannya sebagai ‘ratu adil’.

TUJUAN :

Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR hadir sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat daya hidup bangsa, yang perlu untuk selalu dibarukan. Mengingat masalah kebangsaan Indonesia selalu menuntut kesiapan untuk menghadapi tantangan, pendidikan politik dalam hal ini diarahkan pula untuk menumbuh-kembangkan inisiatif-inisiatif baru.

VISI :

Mengembangkan pendidikan politik kerakyatan berbasis nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan untuk menumbuhkan karakter kepemimpinan politik yang penuh inisiatif dan berwawasan kesejahteraan sosial serta kemandirian Bangsa.

MISI :

Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR dimaksudkan sebagai bagian dari alternatif pemecahan persoalan kepemimpinan politik dengan program-program yang disusun & diarahkan untuk dapat menjawab tantangan kepemimpinan masa datang. Program pendidikan dan pelatihan dirancang sebagai suatu media pembelajaran yang tidak hanya memberi pengetahuan teoretis, melainkan dilengkapi juga dengan keterampilan-keterampilan praktis dalam berpolitik.

Membangun kerjasama dengan berbagai kalangan, baik pelaku politik, lembaga non-pemerintah, pers, maupun pihak-pihak lain sebagai sarana penguatan jaringan dan penyebarluasan informasi guna memperluas wawasan politik dan menumbuhkan semangat kebersamaan bangsa secara keseluruhan.

BENTUK KEGIATAN BELAJAR :

Setiap Angkatan, waktu belajar dialokasikan selama 6 (enam) bulan dengan bentuk & jenis kegiatan belajar :

1. Kuliah dan diskusi di kelas Setiap hari Sabtu jam 14.00 wib s/d selesai
2. Pelatihan khusus terpadu untuk pengembangan ketrampilan politik dan Aplikasi Lapangan (program aksi) serta Pendalaman Materi sebanyak tiga kali setiap angkatan.
3. Stadium General dengan Tokoh-Tokoh Politik, Masyarakat & Agama secara isendental
4. Outbond training untuk Team Building dan Study Orientasi Kerakyatan, 1 kali setiap angkatan di awal periode belajar.
5. Aplikasi lapangan (program aksi) dengan terjun langsung ke tengah rakyat untuk melatih ketrampilan Advokasi / Bimbingan / Pendidikan / Penyuluhan Rakyat 2 malam 3 hari.
6. Dialog & Diskusi Interaktif bulanan

PROGRAM

Pendidikan dan Pelatihan
Mengadakan pendidikan politik bagi kalangan mahasiswa berpotensi untuk mengembangkan keterampilan politik dan karakter kepemimpinan.

Mengembangkan wawasan dan kemampuan politik praktis melalui praktik kerja politik magang politik.

Mengadakan diskusi, seminar, dan pelatihan sebagai bagian dari kajian yang diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pemecahan persoalan sosio-politik.

Mengembangkan kerjasama dengan kekuatan-kekuatan civil society di Indonesia untuk membangun kesadaran politik dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi.

Penyebarluasan Informasi
Mengembangkan jaringan informasi sosio-politik dengan berbagai kalangan pemerhati maupun pelaku politik.

Mengembangkan kerjasama dengan media massa untuk mengembangkan isu-isu demokrasi.

Menerbitikan suatu buletin hasil kajian Sekolah Politik Kerakyatan tentang isu-isu sosial dan politik.

Mengadakan perpustakaan politik Indonesia yang dapat diakses umum.



Siswa Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR saat Outbond di Sukabumi, Jawa Barat

Rabu, 27 Februari 2008

Materi sekolah 2

PARTAI POLITIK, KELOMPOK KEPENTINGAN, DAN KELOMPOK PENEKAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA II

Periode Demokrasi Pancasila (1966 - 1998)

Kondisi partai politik dan juga kelompok kepentingan dan kelompok penekan- pada masa Demokrasi Pancasila dibandingkan dengan masa parlementer dapat dikatakan menurun. Menurun disini dalam arti kuantitas maupun kualitasnya.


Secara kuantitas jumlah anggota partai politik yang duduk dalam lembaga legislative sangat kecil, dan secara kualitas pengaruhnya dalam pengambilan keputusan politik tidak menentukan lagi. Meskipun demikian tidak berarti bahwa tidak ada anggota anggota partai yang duduk dalam lembaga-lembaga pemerintahan.


Pada masa awal Orde Baru, terdapat beberapa pimpinan partai politik yang menduduki jabatan menteri. Kalau melihat komposisi pada Kabinet Pembangunan I dan II, beberapa menteri dijabat oleh pimpinan partai politik yang berasal dari PNI, NU, Parmusi, Parkindo dan Partai Katolik. Namun setelah dua masa jabatan cabinet berlalu, tidak ada lagi orang partai politik di dalam kabinet.


Sementara itu jumlah anggota DPR dalam masa Demokrasi Pancasila yang berasal dari partai politik juga mencapai kedudukan minoritas. Setidaknya ada tiga penyebab menurunnnya pengaruh partai politik dalam masa Demokrasi Pancasila: Pertama, digunakannya UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan sistem politik Indonesia. Sebagaimana dikatakan di muka, UUD 1945 menganut sistem presidensil sehingga memperkuat posisi presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Sebaliknya sistem itu melemahkan kedudukan partai politik di parlemen. Kedua, pelaksanaan pembangunan ekonomi yang menyeluruh di segala bidang. Pelaksanaan pembangunan ekonomi ini belum pernah dilaksanakan oleh pemerintah di masa lalu.


Tetapi pembangunan ekonomi yang menyeluruh memerlukan prasyarat bahwa situasi politik harus stabil. Pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa program-program pembangunan ekonomi yang dirancang oleh pemerintah yang berkuasa tidak dapat berjalan atau direalisir sebagai akibat terganggunya stabilitas politik. Telah dibicarakan sebelumnya bahwa partai-partai oposisi pada masa lalu lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengecam dan menjatuhkan pemerintah, sehingga lebih banyak waktu diperlukan untuk membentuk pemerintah koalisi baru daripada melaksanakan pembangunan ekonomi. Disamping ia menimbulkan dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan. Berdasarkan pengalaman inilah pemerintah Orde Baru mengutamakan stabilitas politik Sebagai landasan bagi pembangunan ekonominya.


Ketiga, diterapkannya sistem massa mengambang (floating mass) pada masa Demokrasi Pancasila. Undang Undang No. 3/1975 menyebutkan bahwa partai politik tidak diizinkan melakukan kegiatan sampai tingkat desa. Partai politik hanya diperkenankan melakukan kegiatannya sampai di tingkat Kabupaten atau daerah Tingkat II. Sistem yang demikian tidak memungkinkan partai politik untuk melakukan kegiatan politik di tingkat pedesaan, tempat di mana partai politik massa yang paling besar. Dengan demikian partai politik kehilangan pengaruhnya di tengah rakyat pedesaan.


Sementara penyerapan pengaruh ke dalam kelompok kelas menengah di perkotaan telah dibatasi beberapa tahun sebelumnya, yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/1970. Peraturan ini dikeluarkan menjelang pemilihan umum tahun 1971. Sebagai konsekuensi dengan adanya peraturan ini ialah bahwa pegawai negeri tidak boleh memasuki partai politik. Pada mulanya semua pegawai Departemen Dalam Negeri didorong untuk menjadi anggota Korps Karyawan Departemen dalam Negeri (KOKARMENDAGRI). Nama organisasi ini kemudian diubah pada tahun 1971 menjadi KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia). Anggota-anggotanya tidak lagi hanya pegawai Departemen Dalam Negeri saja, melainkan juga pegawai negeri lain dan perusahaan-perusahaan swasta.


Peraturan-peraturan yang diberlakukan itu merupakan “pil pahit” bagi partai politik, terutama bagi PNI. Sebelum berfusi ke dalam PDI, PNI menjelang Pemilihan Umum 1955 telah membina hubungan yang erat dengan pegawai negeri.


Bahkan dapat dikatakan bahwa PNI telah banyak memasukkan anggota-anggotanya di departemen-departemen, terutama Departemen Dalam Negeri. Dengan masuknya pegawai negeri ke dalam KORPRI maka sumber dukungan utama bagi PNI menjadi hilang. Partai lainnya, seperti NU, juga kehilangan dukungan dari pegawai negeri, terutama Departemen Agama. Namun karena dukungan utama bagi NU bersumber dari kalangan Pesantren, maka KORPRI tidak menimbulkan kesulitan yang berarti. Ini nampak dari hasil Pemilihan Umum 1971 dimana NU masih dapat menempatkan 58 anggotanya dalam DPR, sedangkan PNI hanya mampu meraih 20 kursi di DPR.


Meningkatnya peranan Golkar juga melemahkan pengaruh partai politik di dalam sistem politik. Dalam sistem Demokrasi Pancasila, Golkar telah menjadi partai mayoritas dalam pemilu-pemilu yang dilaksanakan Orde Baru, yaitu 1971, 1977,1982, 1987, 1992, dan terakhir 1997. Dilihat dari sejarahnya, Golkar merupakan gabungan kelompok-kelompok fungsional dan profesional yang tidak mempunyai kaitan organisasi ataupun ideologis dengan partai politik.


Kelompok-kelompok buruh, karyawan, petani, sarjana yang independen ini mulai muncul di masa Demokrasi Terpimpin, ketika Soekarno menerapkan sistem perwakilan fungsional. Mereka kemudian bersama-sama dengan kelompok fungsional yang didukung ABRI menggabungkan diri membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEKBER Golkar), yang kemudian dikenal dengan nama Golkar, ditahun 1964.


Sejalan dengan meningkatnya peranan militer dalam sistem Demokrasi Pancasila, Golkar pun memantapkan peranannya dalam sistem politik. Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya dalam pemilihan umum mendukung pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru. Bisalah kita katakan disini bahwa Golkar merupakan partai yang berkuasa dalam pemerintahan. Meskipun Golkar sendiri tidak pernah menyatakan diri sebagai partai politik, tetapi fungsi dan peranan yang dilakukannya adalah fungsi dan peranan partai politik.


Barangkali disebabkan istilah partai politik mempunyai konotasi negatif dimana partai politik dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan ketidakstabilan politik di Indonesia. Sedangkan sebutan Golongan Karya mengandung arti yang positif: kelompok yang secara profesional berkarya untuk mengabdikan diri bagi masyarakat, dan tidak mempunyai keinginan memecah belah masyarakat. Akan tetapi fungsi dan peranan Golkar tidak dapat dibedakan dari fungsi dan peranan partai politik pada umumnya. Sesuai dengan itu maka Golkar merupakan semacam partai politik yang mempunyai pengaruh kuat dalam proses pengambilan keputusan politik di Indonesia, sebab sebagian besar keputusan politik yang dibuat dirumuskan oleh Golkar. Sehingga kelompok mayoritas di DPR tentu saja peranannya dapat mendukung lahirnya keputusan-keputusan atau Undang Undang yang diusulkan oleh pemerintah.


Konflik-konflik yang berlangsung didalam tubuh partai politik sejak masa Demokrasi Pancasila dimulai, juga merupakan penyebab lain dari memudarnya peranan dan pengaruh partai politik. Dua partai politik yang dikenal di era Orde Baru, merupakan fusi dari sembilan partai politik yang ada pada masa awal Demokrasi Pancasila. PPP merupakan fusi dari empat partai politik Islam: NU,Parmusi, PSII dan PERTI; sedangkan PDI adalah fusi dari lima partai politik yang berbeda ideologi: PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Akan tetapi fusi tersebut bukanlah diprakarsai oleh masing-masing partai, melainkan oleh Pemerintah.Tidak heran kerap terjadi konflik didalam kedua partai tersebut lantaran masing-masing unsur berusaha mempertahankan kepentingannya. Ini terjadi di awal awal tahun permulaan fusi partai tersebut. Dalam tubuh PPP, meskipun masing masing unsur memiliki ideologi Islam tetapi mereka memegang aliran yang berbeda, terutama dua unsur kuat dalam PPP yakni NU dan Parmusi. NU dikenal sebagai partai Islam tradisional berpengaruh di pulau Jawa, dan Parmusi adalah partai Islam modernis yang berpengaruh besar dikalangan cendekiawan muslim terutama di Sumatera.


Konflik yang terjadi seringkali berlarut-larut sedemikian rupa sehingga pemerintah ikut campur tangan untuk menyelesaikannya. Faktor utama yang menyebabkan konflik itu terus berkembang adalah persoalan kepemimpinan partai. Konflik dalam PDI juga sangat menonjol dalam tahun-tahun permulaan fusi. Persoalan yang paling tajam di dalam konflik PDI ketika itu adalah masalah kepemimpinan partai diantara para anggota PNI, unsur terbesar dalam PDI. Persoalan ini kemudian melibatkan semua unsur yang tergabung dalam PDI. Persoalan memangakhirnya diakhiri walau bersifat sementara dan itupun dengan ikut campurnya pemerintah.


Apa yang dapat dipelajari dari konflik dalam partai ini ialah kurangnya rasa percaya diri dari pimpinan partai, dan semua konflik internal hanya dapat diakhiri dengan campur tangan pemerintah. Masing-masing kelompok yang berkonflik juga selalu meminta pengakuan pemerintah atas kepemimpinannya. Oleh sebab itu, simpati rakyat terhadap partai politik pun ikut merosot.


Dengan penggambaran umum seperti terpaparkan di atas, walhasil dalam konteks kontrol politik penguasa terhadap masyarakat- relatif tak dijumpai perbedaan signifikan antara pemerintahan Soeharto dengan pendahulunya, Soekarno. Warisan sistem politik -mengutip ungkapan Mochtar Pabottingi- yang berformat darurat produk Orde Lama itu dilanjutkan secara sistematis oleh Soeharto. Sebagai sebuah contoh, yakni kebijakannya dalam mengelola sistem kepartaian yang memperlihatkan corak otoritarianisme, dimana Pemerintah Orde Baru memperlakukan secara diskriminatif antara Golkar dan dua partai lainnya (PPP dan PDI).


Format kepartaian demikian diambil dengan alasan untuk menegakkan stabilitas politik sebagai prakondisi bagi pembangunan nasional. Inilah yang menjelaskan mengapa kehidupanpartai politik di Indonesia era Orde Baru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari cara pandang demikian kemudian lahir sebuah kondisi paradoks: Strong state weak society, yang maknanya adalah masyarakat yang lemah secara politis yang dikendalikan secara hegemonik oleh kekuatan negara.


Fenomena strong state weak society disepanjang kekuasaan Orde Baru ini terjadi melalui akumulasi dari sejumlah kebijakan berikut: Pertama, dihambatnya kebangkitan partai-partai politik yang pernah eksis dan berpengaruh pada masa sebelum Orde Baru. Contoh kasusnya adalah pemerintah mengiintervensi kongres PNI yang berideologi nasionalis sekuler pada bulan April 1966 di Bandung dengan menyingkirkan tokoh-tokoh sayap kiri dan radikal. Di sisi lain, pemerintah mengakomodir tokoh-tokoh sayap kanan dan bersikap moderat dengan penguasa.


Intervensi serupa diulang kembali pada kongres PNI tahun 1970. Hal serupa dialami oleh Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang berdiri pada tahun 1968. Parmusi, yang berideologi Islam, semula sebagian besar pengurusnya merupakan tokoh-tokoh Masyumi. Faktor nama besar Masyumi itulah yang membuat penguasa menolak dikarenakan ketakutan terhadap menguatnya kembali ideologi Islam. Namun setelah adanya konsensus, yakni berupa pembersihan Parmusi dari unsur-unsur Masyumi, pemerintah akhirnya berkenan mensahkan kepengurusannya.


Kedua, kebijakan fusi partai politik, yakni beleid penyederhanaan jumlah partai politik sebagai upaya untuk meredam konflik politik serta menjaga stabilitas pembangunan. Dua faktor utama, yakni kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 dan dukungan militer, membuat pemerintah mendesain fusi berdasarkan kedekatan ideologi masing-masing.


Kebijakan ini tertuang lewat UU No 3 tahun 1973, yang pada 5 Januari 1973 direalisir dengan dibentuknya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai kelompok spiritual-material yang merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Sedangkan pada 10 Januari 1973 terbentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dikategorikan sebagai kelompok material-spiritual yang merupakan fusi dari PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Kebijakan fusi ini dapat dikatakan sebagai entry point bagi proses marjinalisasi atas partai politik yang menjadi cetak biru politik Orde Baru. Selanjutnya, dimulailah cengkraman politik penguasa Orde Baru yang contohnya antara lain dalam bentuk intervensi ke tubuh partai politik. Dalam praktiknya tidak jarang kasus-kasus campur tangan birokrasi di dalam kehidupan internal partai politik justru terjadi karena diundang oleh kalangan partai. Dalam kaitan ini Arbi Sanit misalnya melihat birokrasi berkepentingan memelihara konflik dan kemelut partai, bukan saja untuk melihat secara jelas siapa lawan dan siapa kawan melainkan juga agar pengendalian atas partai lebih mudah dilakukan.


Ketiga, melaksanakan pemilu dengan tujuan utama mempertahankan status quo. Sekalipun pada dasarnya pemilu mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai wahana untuk menyalurkan kedaulatan rakyat, sebagai mekanisme untuk memberikan keabsahan pada pemerintah, serta sebagai cara untuk mendapatkan pergantian pemerintahan secara teratur, namun pemilu-pemilu Orde Baru belum sepenuhnya merefleksikan ketiga fungsi elementer tersebut. Dalam konteks mempertahankan status quo Pemerintahan Orde Baru, Golkar dimunculkan sebagai mesin politik penguasa.


Ada beberapa faktor yang menopang kemenangan demi kemenangan yang diraup Golkar sepanjang pelaksanaan pemilu-pemilu Orde Baru. Pertama, ketentuan tentang massa mengambang yang melarang partai politik untuk melakukan kampanye di bawah level kabupaten. Kebijakan ini sangat menguntungkan Golkar, yang leluasa berkampanye sampai kepedesaan. Kedua, ada sejumlah peraturan yang mempersempit kemungkinan bagi PPP dan PDI untuk mengurangi dominasi Golkar di DPR, apalagi untuk memenangkan pemilu. Beleid itu antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1969 yang melarang pegawai negeri menjadi anggota partai dan memberikan loyalitasnya hanya pada negara. Langkah ini diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1970 yang menuntut loyalitas tunggal pegawai negeri hanya pada pemerintah.


Pengebirian aspirasi politik pegawai negeri semakin lengkap dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 82/1971 yang menetapkan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI) sebagai wadah tunggal bagi pegawai negeri. Ternyata langkah ini terbukti efektif sebagai mesin politik kemenangan Golkar di setiap pemilu. Dengan desain politik yang memberi peluang besar bagi Golkar maka tak mengherankan jika ia selalu mampu meraup suara signifikan dalam setiap pemilu Orde Baru.


Keempat, indoktrinasi ideologi Pancasila yakni dengan menjadikannya sebagai ideologi negara dan selanjutnya sebagai ideologi masyarakat. Alur berfikirnya adalah pada saat negara dan masyarakat memiliki ideologi yang sama maka konflik-konflik politik yang bersumber pada perbedaan ideologi dapat diredam. Ali Moertopo, salah seorang arsitek Orde Baru, berpandangan bahwa untuk mencapai dan melaksanakan pembangunan masyarakat yaitu dengan cara menghilangkan perbedaaan ideologis dan mengarahkan tindakan politik rakyat kepada loyalitas pada ideologi Pancasila.


Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memasyaratkan ideologi Pancasila diantaranya dengan memasukkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ke dalam kurikulum pendidikan dasar sampai menengah serta penetapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasil (P4) dalam Tap MPR No 4 tahun 1978. Dan yang paling fenomenal adalah pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap partai politik dan ormas di Indonesia, yang dikukuhkan lewat UU No 3 dan UU No 8 tahun 1985.


Dalam praktiknya upaya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara pun dilakukan secara represif. Perlakuan represif pemerintah melalui militer- dapat dilihat pada kasus-kasus yang dikelompokkan sebagai membahayakan eksistensi ideologi negara, seperti kasus Pasukan Jubah Putih di Aceh, Komando Jihad, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng dan lain-lain.


Kelima, memperluas peranan sosial-politik ABRI. Berbeda dari doktrin jalan tengah yang diusulkan Jenderal A.H. Nasution dimana ABRI hanyalah salah satu kekuatan sosial-politik disamping kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya, dibawah Pemerintahan Orde Baru ABRI tampil sebagai kekuatan politik yang paling dominan. Dwi Fungsi ABRI diterjemahkan secara sangat fleksibel, sehingga membuka peluang seluas-luasnya bagi kalangan militer untuk berperan diberbagai bidang non-Hankam. Keterlibatan ABRI tidak saja terjadi di bidang eksekutif, tetapi juga di bidang legislatif, yudikatif, pada berbagai bidang ekonomi dan sosial, termasuk olahraga. Perluasan peranan sosial-politik ABRI mau tidak mau semakin mempersempit ruang gerak masyarakat untuk bertindak secara otonom dan mandiri, karena ABRI merupakan kekuatan utama pihak eksekutif yang sekaligus juga memiliki monopoli terhadap hak penggunaan kekerasaan.


Keenam, seperti yang disorot oleh Maswadi Rauf, elit politik Orde Baru menjalankan strategi penguasaan atas MPR dan DPR dalam kerangka menghimpun kekuasaan politik dan mempertahankannya selama 32 tahun (Maret 1966-Mei 1998). Kedua lembaga perwakilan rakyat tersebut yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang terhadap kekuasaan presiden dibuat tidak berdaya. Penguasaan Soeharto atas kedua lembaga tersebut dilakukan dengan menciptakan beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, sebanyak 500 orang anggota MPR yang berjumlah 1.000 itu, dan tergabung dalam Utusan Daerah, Utusan Golongan, dan tambahan bagi Golkar, PPP, PDI, dan ABRI, diangkat oleh presiden. Kedua, sejumlah 75 orang dari anggota MPR yang berasal dari DPR diangkat oleh presiden. Mereka ini terkabung dalam Fraksi ABRI di DPR. Ketiga, mayoritas anggota DPR dikuasai oleh Golkar yang berkisar antara 62%-74%. Keempat, adanya pengebirian terhadap PPP dan PDI yang membuat kedua partai ini tidak bebas bergerak dan berpendapat. Ketujuh, diterapkannya berbagai undang-undang dan peraturan yang membatasi kebebasan menyatakan pendapat atau melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memperdayakan masyarakat. Seperti undang-undang anti-subversi, SIUPP dan undang-undang yang membatasi gerak langkah LSM merupakan sebagian contoh dari hambatan-hambatan yang diciptakan pemerintah untuk mengendalikan dan membatasi partisipasi politik masyarakat.


Di sisi lain pemerintah Orde Baru membentuk organisasi korporatis yang ditujukan untuk memobilisasi dan sekaligus mengendalikan kegiatan berbagai kelompok masyarakat, seperti kelompok buruh, pemuda, wanita dan wartawan. Pemerintah sama sekali tidak dapat menerima organisasi-organisasi independen, karena kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang demikian dianggap menggerogoti kewibawaan pemerintah.


Periode Reformasi (1998 - Sekarang)

Periode ini ditandai oleh mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa ini berdampak kedalam banyak aspek yang pada masa kekuasaannya 29 tidak terbayangkan dapat terealisir. Pelbagai implikasi itu bermuara kepada satu hal bahwa publik memperoleh ruang bebas dalam mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya. Dalam konteks tema tulisan ini adalah penting mengetengahkan kebijakan Presiden B. J. Habibie mengenai partai politik, pemilu, serta SU MPR.


Pertama adalah soal kebijakan pembebasan pendirian partai-partai politik yang Habibie lontarkan pertama kali ? masih dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden -tatkala menerima kunjungan 45 pemimpin ormas Islam dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipimpin Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri, di Bina Graha, Jakarta (19 Mei 1998). Dalam pertemuan itu ia menyatakan semua pihak boleh mendirikan partai baru asal tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tidak mempersoalkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).


Puncak dari perubahan politik yang diambil oleh Presiden B. J. Habibie adalah penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) MPR 1999 yang diadakan pada tanggal 10-13 November 1998. SI MPR merupakan keharusan politik yang mesti diambil oleh BJ. Habibie agar langkah-langkah reformasi bisa berjalan secara terarah dan konsisten. Dalam SI MPR tersebut, walaupun komposisi keanggotaan MPR masih merupakan produk Pemilu 1997, akan tetapi telah diambil sejumlah produk konstitusional yang signifikan bagi perkembangan Indonesia ke depan. Pelbagai produk konstitusional yang dimaksud itu adalah pemilu multipartai, yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999, penghapusan Pancasila sebagai asas tunggal, dan pengurangan kursi TNI/Polri di DPR/MPR. Di samping itu, amandemen UUD 1945 yang selama Pemerintahan Soeharto ditabukan, di era reformasi ini dilaksanakan. Mengenai pemilu, perubahan paling mendasar dalam format pemilu yang diintrodusir melalui UU No. 3 tahun 1999 adalah restrukturisasi organisasi penyelenggaraan pemilu yang tidak lagi didominasi oleh unsur pemerintah.


Dengan perubahan ini maka substansi format pemilu baru adalah: Pertama, adanya kebebasan memilih bagi masyarakat; Kedua, terbukanya peluang kompetisi di antara partai partai politik peserta pemilu sebagai konsekuensi logis adanya kemerdekaan berserikat bagi masyarakat; Ketiga, berkurangnya secara signifikan peluang bagi birokrasi untuk mendistorsikan proses pemilu sebagai konsekuensi logis dari tuntutan netralitas birokrasi di satu pihak, dan pembatasan keterlibatan unsur-unsur pemerintah di dalam hampir semua tingkat organisasi-organisasi masyarakat. Keempat, keterlibatan kalangan domestik maupun internasional untuk ikut melakukan pengawasan terhadap hampir semua proses pemilu.


Mengenai pendirian partai politik di era Presiden B. J Habibie ini hingga tenggat waktu yang ditentukan, ada 148 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman. 141 diantaranya memenuhi syarat administrasi dan disahkan sebagai partai politik, tujuh gagal dan dua partai lainnya mengundurkan diri. Ibaratnya, setelah sekitar empat dekade terkubur, sukma Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta No X tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai-partai politik kembali muncul ke permukaan. Partai politik yang lolos seleksi administrasi ini masih diharuskan mendaftar dan mengikuti tahap seleksi yang dilakukan P3KPU (Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum) atau yang lebih dikenal dengan Tim Sebelas. Hingga 27 Februari 1999, hanya 106 partai yang mendaftar kembali, 60 partai diantaranya dinyatakan memenuhi syarat administrasi dan siap =20 diverifikasi.


Kemudian pada tanggal 4 Maret 1999, Tim 11 memutuskan 48 partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 1999. Sedangkan untuk Pemilu 2004, jumlah partai politik peserta pemilu menjadi hanya 24 partai politik.


Hasil Pemilu 1999 cukup mengejutkan dimana Golkar yang tampil perkasa dalam setiap pemilu yang digelar di era Orde Baru menderita kekalahan untuk pertama kalinya. Pemenang pertama dalam Pemilu 1999 adalah PDI Perjuangan, yang banyak disokong oleh infrastruktur yang dimiliki PDI serta keinginan sebagian besar masyarakat yang menghendaki perubahan. PDI Perjuangan juga diuntungkan oleh kehadiran figur Megawati Soekarnoputeri yang kala itu disimbolkan sebagai wakil dari kaum tertindas.

Adapun Golkar dalam pemilu pertama di era reformasi ini menduduki urutan kedua. Namun pada pemilu legislatif di tahun 2004, Partai Golkar kembali meraih urutan pertama dan berada pada posisi kedua adalah PDI Perjuangan (lihat tabel). Dengan demikian walau sempat mengalami kekalahan pada Pemilu 1999, Partai Golkar tetap mampu bertahan menjadi salah satu partai yang diperhitungkan hingga saat ini.


Pemilu di era reformasi ini menjadi menarik untuk dicermati. Bukan saja oleh karena inilah pemilu yang relatif demokratis seusai Pemilu 1955 itu, namun juga oleh sejumlah faktor berikut. Pertama, pemilu ini dari segi kualitas sistem dan penyelenggaraannya diyakini berbeda secara signifikan dengan pemilu-pemilu dibawah Orde Baru yang karena karakter hegemoniknya seluruh proses pemilu dibawah kontrolnya. Hasil pemilu-pemilu Orde Baru sudah diketahui, termasuk siapapemenang pemilu itu sendiri, bahkan sebelum pemilu itu sendiri terselenggara. Kedua, militer yang sepanjang lebih dari tiga dasawarsa menjadi pilar utama penguasa politik berada di bawah tekanan politis dan moral, yakni agar tidak berkecimpung lagi di dunia politik. Kehadiran militer yang tidak berpihak itulah atau dikenal sebagai militer profesional- yang menjadi salah satu corak penting yang membedakan pemilu kali ini beda dengan pemilu-pemilu di bawah rezim Orde Baru.


Ketiga, ada semacam keyakinan kolektif bahwa pascapemilu ini bakal melahirkan pemerintahan yang tidak saja legitimate tapi juga bisa dipercaya kalangan pasar domestik maupun mancanegara sehingga mampu membawa negeri ini keluar dari krisis yang membelenggunya.


Pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR berhasil mengamandemen UUD 1945 tahap keempat, menyusul tiga tahap amandemen sebelumnya yang total menghabiskan masa empat tahun pembahasan. Hasil amandemen UUD 1945 itu membuat wajah sistem ketatanegaraan kita berubah secara mendasar. Yakni, pertama, parlemen terdiri dari dua kamar: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang seluruhnya dipilih melalui pemilu. Kedua, untuk pertama kali rakyat akan menentukan secara langsung presiden dan wakil presidennya. Dengan demikian wewenang dalam menentukan pemimpin negeri ini tidak lagi dimonopoli MPR seperti masa sebelumnya. Ketiga, kekuasaan kehakiman tidak lagi tersentralisir di tangan Mahkamah Agung, namun tersebar ketiga lembaga: Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Dengan pembagian kewenangan yang berbeda diharapkan ketiga lembaga ini mampu menegakkan keterpurukan masalah kehakiman yang membekap negeri ini.


Jika dikaitkan dengan peran partai politik, hasil amandemen itu berdampak pada eksistensi partai yang menjadi kuat yang bahkan mampu menghadirkan fenomena supremasi partai yaitu dominasi orang-orang partai dihampir seluruh aspek bernegara dan bermasyarakat. Dominasi itu secara nyata tercermin dari dua klausul berikut: (1) Parlemen dihuni minimal duapertiga dari kalangan partai politik dengan menyisakan maksimal satupertiga dari unsur perwakilan daerah (DPD); (2) Calon presiden dan wakil presiden bisa diajukan hanya melalui partai politik.


Di sisi lain, peranan kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga kuat di era reformasi ini. Mereka yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, pers, mahasiswa, buruh, petani, dan lain sebagainya mendapakan ruang yang leluasa untuk mengekspresikan pendapat serta memperjuangkan aspirasi mereka. Mereka kerap mampu mempengaruhi secara signifikan kebijakan pemerintah, dan bahkan kelompok-kelompok ini berperan besar dalam proses penjatuhan pemerintah. Seperti yang ditunjukkan dalam kasus jatuhnya Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid. Jadi di era reformasi ini bukan hanya partai politik yang berada dalam lingkaran sistem politik yang memiliki peranan besar, namun juga kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga mengalami hal yang serupa.

Senin, 18 Februari 2008

Sapi, Idiologi Politik dan Kebijakan Moneter

SOCIALISME
Kau punya 2 sapi, 1 sapi kau berikan untuk tetanggamu


COMMUNISME
Kau punya 2 sapi, Negara mengambil alih keduanya dan memberimu 2 kaleng susu.

FASCISME
Kau punya 2 sapi, Negara mengambil alih keduanya dan menjual susu padamu.


NAZISM
Kau punya 2 sapi, negara mengambil keduanya dan menembakmu

BUREAUCRATISM
Kau punya 2 sapi, negara mengambil keduanya, yang satu ditembak, yang satu diperah susunya kemudian dibuang


TRADITIONAL CAPITALISM
Kau punya 2 sapi betina, kau jual satu dan beli satu sapi jantan.
ternakmu bertambah, dan ekonomi tumbuh.

SURREALISM

Kau punya 2 sapi, pemerintah memintamu untuk kursus harmonika

AN AMERICAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi. Kau jual satu, dan satunya kau paksa untuk memproduksi susu sebanyak 4 sapi. Kemudian, kau menyewa konsultan untuk menganalisa mengapa sapinya mati.

THE ANDERSEN MODEL
Kau punya 2 sapi, kau cincang-cincang dua-duanya.


A FRENCH CORPORATION
Kau punya 2 sapi, kau turun ke jalan, menyusun massa, memblokade jalanan, karena kau ingin punya 3 sapi.

A JAPANESE CORPORATION
Kau punya 2 sapi. Kau medesignnya ulang hingga bisa menghasilkan 20 kali lipat susu. kemudian kau buat profil kartun sapi pintar "Cowkimon" dan menjualnya ke seluruh dunia.

A GERMAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi, kau merekayasanya supaya bisa hidup lebih dari 100 tahun, makan cukup
sekali sebulan, dan mereka bisa saling memerah susu sendiri.

AN ITALIAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi, tapi kau tak tahu dimana mereka. Kau putuskan untuk makan siang saja.

A RUSSIAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi, kau menghitungnya dan berandai bagaimana bilamana punya 5 sapi kau menghitungnya lagi dan berandai bagaimana bilamana punya 42 sapi, kau menghitungnya lagi dan menemukan bahwa sapimu cuma dua, kau berhenti mengitung, lalu buka sebotol vodka.

A SWISS CORPORATION
Kau ada 5000 sapi. tak satupun adalah milikmu, kau mengenakan biaya adaministratif kepada pemiliknya untuk menyimpannya.

A CHINESE CORPORATION
Kau punya 2 sapi. kau punya 300 orang untuk memerah susunya, kau nyatakan bahwa tak ada pengangguran, dan nilai produksi susu tinggi, kau menangkap wartawan yang melaporkan kenyataanya.

AN INDIAN CORPORATION
Kau punya 2 sap, kau sembah mereka.

BRITISH CORPORATION
Kau punya 2 sapi, dua-duanya sapi gila.

IRAQ CORPORATION
Semua orang berpikir kau punya banyak sapi, kau bilang ke meraka kau cuma punya satu. Tak ada yang percaya, maka mereka mengebom daerahmu dan menginvasi negaramu. Kau masih tak punya sapi satupun, tapi setidaknya sekarang kau bagian dari demokrasi,

NEW ZEALAND CORPORATION
Kau punya 2 sapi, Sapi yang di kiri kelihatan sangat atraktif.

AUSTRALIAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi, bisnis kelihatanya sedang bagus. kau tutup kantor dan pergi mencari beer untuk merayakannya.

INDONESIAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi, dua-duanya curian. Lalu kau jual dua-duanya, kemudian kau simpan uangnya di acount non budgeter yang tak jelas, lantas kau gunakan beberapa untuk mendanai kampanye partaimu tapi sebagaian besar kau simpan untuk anak cucumu.

MALAYSIAN CORPORATION
Kau punya 2 sapi, dua-duanya kau curi dari indonesia.

INDONESIA BARU

Kau punya 2 sapi betina, Negara memberimu 1 sapi jantan, beberapa tahun kemudian kau punya peternakan sapi

Minggu, 17 Februari 2008

Demokrasi, Kemajemukan dan Keindonesiaan

Demokrasi dan kemajemukan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Demokrasi adalah sarana mengelola kemajemukan. Kemajemukan itu sendiri adalah esensi dan nilai dasar demokrasi. Pengakuan pada kemajemukan beserta segenap norma dan praktik yang berada di dalamnya adalah basis nilai demokrasi. Demokrasi tanpa kemajemukan bukanlah demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi dengan embel-embel –yaitu demokrasi yang ditempeli dengan nilai-nilai yang anti-kemajemukan— bukanlah demokrasi.


Di negeri ini, kita pernah mengenal istilah “demokrasi terpimpin” yang mengisyaratkan perlunya kepemimpinan kelompok tertentu atau orang per orang tertentu dalam menjalankan demokrasi. Dalam praktiknya, demokrasi semacam ini menimbulkan diskriminasi atas kelompok atau orang per orang lainnya. Yang terjadi pada gilirannya adalah fragmentasi atau perpecahan politik yang tajam antar-kelompok atau golongan atau bahkan antar-individu. Dan di situlah paradoks berlangsung: teorinya demokrasi, tapi praktiknya otoriterisme politik yang menimbulkan perpecahan.


Kemajemukan dalam praktik politik semacam itu tidak dikelola, tetapi dieksploitasi untuk kepentingan sempit dan berjangka pendek. Masyarakat politik dikotak-kotakkan dalam aliran-aliran yang basisnya primordial, untuk kemudian dikuasai. Kemajemukan dipersempit definisinya menjadi aliran politik yang berguna hanya untuk keperluan power struggle. Walhasil kemajemukan tidak dimengerti sebagai potensi sosio-kultural yang musti dikelola melalui instrumen politik.


Praktik semacam ini berulang di era perpolitikan selanjutnya. Dengan embel-embel “Pancasila”, praktik demokrasi di era ini mereduksi kesepakatan para founding fathers kita itu dalam tataran yang teramat praktis. Yaitu untuk melegalkan praktik pelanggengan kekuasaan, dengan menabukan voting dan menganakemaskan ‘musyawarah mufakat’ dalam setiap pengambilan keputusan politik. Tradisi kritik dan koreksi juga diminimalisir sama sekali. Dan, akhirnya, pengakuan pada kemajemukan nyaris hilang sama sekali pada masa itu. Berbeda artinya berbahaya. Berbeda pendapat dimusuhi. Berbeda pemikiran dilarang. Berbeda ideologi dicurigai. Dan seterusnya.


Dalam kondisi semacam itu, orang digiring untuk takut berbeda. Takut kepada perbedaan. Kita dilarang untuk membicarakan (apalagi mengelola) segala sesuatu yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan). SARA menjadi kata-kata sakti untuk memberangus perbedaan. Muara dari praktik semacam ini –lagi-lagi— adalah power struggle. Masyarakat politik lagi-lagi kemudian terkotak-kotak dalam SARA: ada yang dituduh ekstrim kiri, ekstrim kanan, dan seterusnya.

Reformasi dan Kemajemukan
Kini kita telah melampaui kedua era itu. Saat ini kita berada di era yang banyak orang menyebutnya sebagai era ‘reformasi’. Apa yang sudah kita capai? Apakah kita sudah bisa mengelola kemajemukan itu? Apakah kemajemukan sudah menjadi bagian dari nilai yang sudah kita jalankan dalam praktik politik kita? Apa yang perlu dilakukan untuk mencapainya?
Reformasi memang telah membawa perubahan fundamental dalam kehidupan politik kita. Kebebasan menyatakan pendapat kini sudah bisa kita rasakan di mana-mana. Di pemerintahan, legislatif, tempat kerja, sekolah, di jalanan, di media massa, di partai politik dan organisasi sosial lainnya, di lingkungan antar-tetangga, semuanya sudah jamak kita temui kebebasan itu. Kita juga sudah bisa merasakan menjadi tuan di daerah kita sendiri. Otonomi daerah sudah diterapkan. Daerah-daerah kini cukup mandiri dalam menentukan agenda sosial, politik dan ekonominya.


Pemilihan umum tahun 2004 lalu semakin menegaskan komitmen negeri ini untuk berdemokrasi. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung, anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga dipilih secara langsung untuk mewakili daerah masing-masing. Dengan mekanisme perundang-undanganan yang memiliki semangat demokratis, para walikota, bupati, gubernur dan para wakilnya kini juga telah dipilih langsung oleh rakyat. Itulah sebagian dari capaian-capaian agenda reformasi kita.

Keindonesiaan dan Kemajemukan
Satu agenda yang paling berat untuk kita capai di era reformasi ini memang terletak pada bagaimana kita dapat mengelola kemajemukan di tengah hiruk pikuk demokratisasi tadi. Bagaimana mengelola kemajemukan suku, agama, ras dan antar-golongan di negeri yang memiliki sejarah panjang pergolakan antar-daerah, separatisme, dan beragam ketegangan rasial, suku dan agama itu? Bagaimana model kesepakatan Helsinki untuk Aceh dapat diteruskan dalam kerangka “keindonesiaan”? Bagaimana isu-isu semacam OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat diselesaikan? Bagaimana kita mengelola mengemukanya kembali simbol-simbol kultural dan politik separatisme seperti bendera “GAM” di Aceh, bendera “Bintang Kejora” di Papua, dan “Benang Raja” di Maluku? Bagaimana kita memaknai “keindonesiaan” dalam konteks kekinian?


Negeri ini adalah satu di antara negeri yang paling majemuk di muka bumi ini. Adalah sebuah keharusan bagi kita untuk berfikir dan bekerja ekstra-keras untuk mengelolanya. Secara ideologis, kita telah memiliki ketatapan untuk hidup dan bercita-cita bersama dalam satu negeri: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita juga telah mempunyai semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti pengakuan bahwa kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dengan ideologi dan semboyan tersebut kita pada hakikatnya telah memiliki modal untuk mengelola segenap perbedaan itu.


Modal yang lebih dari cukup itu dapat secara bertahap kita investasikan pada 2 (dua) langkah atau agenda berikut ini. Pertama, sebagai sesuatu yang final, NKRI memerlukan lebih dari sekedar kekuatan fisik (yang tangible) untuk mempertahankannya. Ia memerlukan instrumen-instrumen intangible yang bersumber dari kekayaan khazanah sosio-kultural dan ekonom-politik segenap suku bangsa, kelompok-kelompok, anak-anak bangsa sendiri. Sistem politik yang demokratis adalah syarat utama untuk mengaktualisasikan potensi-potensi itu. Potensi sosio-kultural perlu dikembangkan demi terwujudnya praktik-praktik multikulturalisme di Indonesia. Potensi ekonomi-politik perlu dikembangkan demi mengantisipasi globalisasi kapitalisme yang cenderung semakin memperlebar berbagai kesenjangan struktural di negeri ini.


Kedua, perbedaan antar-suku, agama, ras dan golongan perlu dikelola dengan prinsip-prinsip yang kita kenal dalam ilmu hitung. Ini analoginya: ¼ (seperempat) + 1/3 (sepertiga) + ½ (setengah) + ¾ (tiga perempat) tidak bisa dijumlahkan manakala penyebutnya tidak dibuat sama terlebih dahulu. Untuk membuatnya menjadi bilangan-bilangan yang bisa dijumlahkan, bilangan pecahan ¼, 1/3, ½ dan ¾ sama-sama memerlukan penyebut 12. Manakala penyebutnya sudah sama, yaitu 12, maka ketiga pecahan tadi dapat dijumlahkan, sehingga menghasilkan 22/12 (dua puluh dua perdua belas) atau 1 10/12 (satu sepuluh perdua belas) atau 1 5/6 (satu lima perenam).


Dalam proses penghitungan itu, ¼ menjadi 3/12 (hakikatnya tetap ¼), 1/3 menjadi 4/12 (hakikatnya tetap 1/3), ½ menjadi 6/12 (hakikatnya tetap ½), dan ¾ menjadi 9/12 (hakikatnya tetap ¾). Walaupun mengalami perubahan bentuk, ¼, 1/3, ½ dan ¾ tetap diakui eksistensinya. Setelah mengalami perubahan bentuk, barulah keempat bilangan pecahan itu dapat dijumlahkan. Artinya, kalau ¼, 1/3, ½ dan ¾ mewakili satuan atau entitas yang berbeda-beda, maka angka penyebut 12 adalah common denominator-nya. Angka 12 itulah Indonesia atau “Keindonesiaan” dalam konteks kemajemukan kita.


Bila kita terapkan untuk kehidupan kemajemukan kita, Aceh + Batak + Tapanuli + Minang + Papua + Jawa + Madura + Dayak + Sasak + Sunda + Betawi + Bugis + Toraja+ Maluku+ dlsb. + dst. tidak otomatis menjadi Indonesia. Indonesia bukanlah penjumlahan dari suku-suku itu. Indonesia hanyalah ‘penyebut’, ia hanyalah common denominator yang menjadi cita-cita bersama. Demikian seterusnya. Inilah yang dibayangkan oleh Benedict Anderson ketika ia membayangkan suatu ‘imagined community’ yang menghubungkan dan menyatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi satu bangsa. Kelompok-kelompok yang dulu juga dibayangkan oleh Sukarno, presiden pertama dan salah seorang founding father kita. Kelompok-kelompok yang memiliki cita-cita bersama: Indonesia (Riza Noer Arfani, PPSK)


Sabtu, 09 Februari 2008

Kaum Remaja & Demokrasi

Dalam kategori politik, kaum remaja dimasukkan dalam kelompok pemilih pemula. Mereka adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilih. Dengan hak pilih itu, kaum remaja yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah ini akan mempunyai tanggung jawab kewarganegaraan yang sama dengan kaum dewasa lain. Selain itu, kaum remaja ini menjadi sasaran paling empuk untuk diperebutkan. Jumlah pemilih pemula yang berkisar pada angka 20 juta orang dalam pemilu sangat menggiurkan dari segi kemenangan dan kekalahan dalam pemilu.
Hanya, belum banyak partai politik yang melakukan pendidikan politik serius terhadap pemilih pemula ini. Mereka menggantungkan informasi politik kepada berita-berita di media massa, sesama teman, orang tua, atau guru di sekolah. Sehingga, program Civic Engagement in Democratic Governance (Cived), sebuah organisasi nirlaba, menjadi bagian penting dari sosialisasi politik dan demokrasi sejak dini. Kegiatan yang digelar oleh lembaga ini menjadi parameter untuk menentukan tingkat kematangan kaum remaja dalam memaknai demokrasi.

Ada banyak sentuhan khas remaja untuk demokrasi ini. Dalam karya film dan foto yang dibuat oleh kaum remaja ini, pada kegiatan Cived, terlihat jelas bagaimana memahami perbedaan sebagai bagian penting arti demokrasi bagi kaum remaja. Foto dan film bendera warna-warni, kaki-kaki yang berdiri ketika bergayutan di gerbong kereta api, perahu-perahu kertas yang berisi surat-surat anak-anak kepada presiden yang tidak sampai di Istana Negara, perbedaan keyakinan di asrama sekolah, sampai riwayat diri masing-masing anak menunjukkan itu.

Tapi sebagian kaum remaja ini menerjemahkan demokrasi sebagai bentuk nasionalisme. Maka, mereka menerjemahkan sebagai perjuangan ala bambu runcing kakek-neneknya. Padahal kita sulit menemukan dalam sejarah bagaimana bentuk perlawanan dari bambu runcing ini yang berhadapan dengan senjata-senjata berat kaum kolonial. Bambu runcing menemukan pengaruh masif dalam film-film yang diputar semasa Soeharto berkuasa, termasuk atas apa yang dikenal sebagai pendudukan Yogyakarta selama enam jam oleh pasukan yang dipimpin oleh Soeharto. Bambu runcing berwarna kuning hanya semacam mitos yang dicoba ditanamkan dalam pikiran banyak anak-anak sekolah.

“Penyelewengan” makna demokrasi menjadi nasionalisme atau patriotisme itu menunjukkan perspektif yang dipungut dan didapat oleh kaum remaja dari kalangan elite politik dan pemerintahan. Kita menyaksikan bagaimana politikus dalam partai-partai politik lebih banyak bicara tentang nasionalisme ketimbang demokrasi itu sendiri.

Bahkan ada juga pemimpin politik yang mempertanyakan dengan tegas urgensi dari demokrasi, dengan cara membenturkan dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Demokrasi malah ditafsirkan sebagai prosedur, cara, atau alat, sementara tujuannya adalah kesejahteraan.

Pemilu adalah satu bagian penting dalam demokrasi. Secara sederhana, pemilu adalah cara individu warga negara melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih. Pemilu bukan pemberian mandat secara total, sehingga klaim bahwa satu partai politik tertentu memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu dalam pemilu sebelumnya menjadi tidak tepat. Untuk menjalankan mandat itu, partai politik atau legislator partai politik harus juga melakukan proses komunikasi politik dengan tujuan meminta persetujuan warga negara, terutama untuk kebijakan-kebijakan krusial dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Kaum remaja tentu memiliki mimpi-mimpi tersendiri tentang demokrasi dan untuk apa demokrasi ada. Kaum remaja yang mempunyai orang tua cenderung merasa lebih nyaman, terutama kalau kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi, seperti sekolah, bepergian, berteman, atau memiliki pakaian yang layak. Perhatian yang besar kaum remaja atas penampilan diri menimbulkan sikap yang kadang negatif, yakni menutupi apa yang mereka anggap sebagai kelemahan, seperti kekayaan atau jabatan keluarga. Persoalan kaum remaja menjadi tambah runyam ketika mereka menjadi sasaran kampanye iklan-iklan konsumerisme dan hedonisme serta dijadikan sebagai lahan penghancuran generasi lewat peredaran narkoba.

Cita-cita kaum remaja ini bisa terkubur secara tragis ketika mereka harus menanggung beban berat akibat ketiadaan perlindungan dari penyelenggara negara. Aspek ini masih belum banyak didiskusikan oleh kelompok prodemokrasi atau partai-partai politik. Kehancuran ekologis, kehilangan ruang-ruang kota untuk kegiatan komersial, serta ketiadaan uang untuk rekreasi dan membina hubungan sosial dengan anak-anak remaja yang lain, telah menjadi bagian dari mimpi buruk kaum remaja dewasa ini. Bahkan, dalam aspek yang lebih substantif, kaum remaja ini adalah satu mata rantai dari ketiadaan perhatian penyelenggara negara atas nasib kaum ibu yang hamil dan melahirkan, serta atas anak-anak balita yang tidak menerima asupan gizi yang cukup.

Para tokoh politik kita barangkali lebih banyak yang membicarakan nasib orang-orang tua seusia mereka atau yang lebih tua lagi. Yang dibicarakan adalah masa lalu, seperti dendam antarklan dan dinasti politik. Yang dicoba digadang-gadangkan adalah sejarah versi mereka sendiri untuk menancapkan pengaruh di kalangan rakyat bahwa mereka adalah pejuang. Dunia politik meninggalkan anak-anak remaja dan anak-anak balita, sehingga sebetulnya tidak peduli kepada masa depan itu sendiri. Tidak mengherankan kalau kaum remaja menjadi unsur yang terlupakan dari dunia politik dan perdebatan menyangkut demokrasi.

Padahal, untuk memperkukuh tegaknya demokrasi, perhatian yang lebih atas kaum remaja ini menjadi penting. Demokrasi akan digoyang terus oleh kepentingan kekuasaan, dinasti politik, klan, familisme, ideologisme, dan segala macam kepentingan kaum tua lainnya.

Demokrasi hanya diisi dengan segala macam potret palsu tentang perhatian kepada rakyat, ketika kaum remaja yang nanti menjadi generasi pengganti tidak diikutsertakan dalam mencerna dunia dan masalah-masalahnya. Untuk itu, pendidikan politik yang berdasarkan kepentingan kaum remaja sendiri sangat diperlukan, terutama untuk mencegah agar jangan sampai suara mereka hanya dihitung sebagai “pemilih pemula” yang tidak tahu apa-apa… * (Indra J. Piliang)

Jumat, 08 Februari 2008

Kemandirian Bangsa

Persoalan-persoalan mendasar yang berkait dengan kemandirian sebuah bangsa biasanya lebih banyak bersumber dari diri kita sendiri sebagai bangsa yang biasanya berkisar pada persoalan kualitas sumberdaya manusia, karakter pemimpin yang bermental tempe. Ketikdakberdayaan ekonomi rakyat dll.



Memang kita memaklumi bahwa ada juga faktor eksternal yang mempengaruhinya, misalnya konstelasi politik dan ekonomi internasional yang memang belum adil. Ada Amerika Serikat yang kini berlaku sebagai hegemon tunggal. Ada gap yang selama ini belum terjembatani antara negara-negara kaya dan miskin. Ada trend globalisasi di segenap ranah kehidupan yang terus menerus menerpa.



Kemandirian sebuah bangsa bisa diukur dari 3 (tiga) aspek. Pertama, kemampuannya dalam menetapkan ideologi kebangsaan secara lugas dan tegas. Lugas sehingga bisa dipahami bangsa-bangsa lain bahwa kita memiliki, meyakini dan menerapkan pandangan atau falsafah hidup kita sendiri. Tegas dalam arti tidak terpengaruh berbagai tantangan dan pendiktean ideologi bangsa lain yang tidak sejalan dengan milik kita.


Ideologi yang diyakini bersama secara mantap bisa mencegah bangsa ini terombang-ambing –tidak berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)— dalam pergulatan antar-bangsa yang semakin keras ini. Kelugasan dan ketegasan kita untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah keharusan, apabila yang kita tuju adalah kemandirian bangsa yang hakiki



Kedua, kemandirian bangsa juga bisa dilihat dari kebolehannya dalam merumuskan, memutuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan negara tanpa campur tangan pihak-pihak lain secara berlebihan



Ketiga, kemandirian bangsa tentu saja juga bisa diukur dari kemampuannya dalam menjaga dan mempraktikkan kedaulatan atas wilayah, penduduk dan segenap sumberdaya yang ada di dalamnya. Kemampuan negara dalam menjaga keutuhan wilayah dari ancaman eksternal maupun ancaman separatisme internal adalah kebutuhan esensial dalam kemandirian bangsa. Kemampuan negara dalam menjaga aset atau sumberdaya yang ada di dalamnya juga merupakan keharusan.



Untuk memandirikan bangsa ini dan kemudian mengatasi berbagai persoalannya, bangsa itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh bangsa tersebut. Pertama, memperkenalkan semangat kebangsaan yang berbasis kemandirian kepada seluruh masyarakatnya dengan berbagai macam cara dan media yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan memahaminya. Yang paling mudah bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonforma yang merupakan avant-garde dalam proses pembinaan bangsa secara keseluruhan. Nasionalisme yang sempit dengan demikian perlu diperluas menjadi nasionalisme dengan hakikat kemandirian di segenap bidang: politik, ekonomi dan sosio-kultural. Selama ini, seorang nasionalis diukur dari kemampuannya dalam menyatukan bangsa, tetapi yang perlu ditambahkan di sini adalah kemampuannya dalam memandirikan bangsa.



Kedua, di bidang ekonomi pemerintah dan para pelaku usaha perlu lebih menegaskan lagi pemihakannya pada kemajuan ekonomi rakyat. Bukan malah sebaliknya pemihakan pada segelintir konglomerat yang berusaha mematikan pasar rakyat untuk kepentingan ysahanya. Kemajuan sektor-sektor ekonomi rakyat inilah yang akan sangat menentukan proses kemandirian sebuah bangsa. Potensi ekonomi rakyat Indonesia sesungguhnya sangat tinggi. Kekenyalannya sudah terbukti bahkan di masa-masa krisis ekonomi dan moneter melanda negeri ini. Sehingga, tidak ada pemihakan lain selain kepada ekonomi sektor ini.



Ketiga, Pemerintah perlu membangun suasa kondusif agar masyarakat turut berpikir dan berperan serta melalui program program komunitas, organisasi kemasyarakatan agar muncul keontentikan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah juga perlu mendorong agar mereka mempercepat langkahnya sebagai organisasi moderen yang mementingkan aspek-aspek profesionalisme, fungsionalisme dan kemandirian dalam berbagai program dan amal usahanya. Karena aspek-aspek itulah yang akan bisa menjadi motor penggerak dan persebaran gerakan organisasi kemasyarakatan

Rabu, 06 Februari 2008

Materi Sekolah 1

PARTAI POLITIK, KELOMPOK KEPENTINGAN,
DAN KELOMPOK PENEKAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA I

Pengertian Partai Politik, Kelompok Kepentingan, Dan Kelompok Penekan secara teoritis yang dimaksudkan dengan kekuatan-kekuatan politik bisa masuk dalam pengertian individual maupun pengertian yang bersifat kelembagaan.
Dalam arti yang individual, kekuatan-kekuatan politik tidak lain adalah aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang ingin mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.
Secara kelembagaan kekuatan politik bisa berupa lembaga-lembaga, organisasi-organisasi ataupun bentuk-bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.

Dengan demikian kita bisa melihat bahwa kekuatan politik bisa terdiri dari individu-individu dan lembaga ataupun organisasi-organisasi yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik di dalam suatu sistem politik. Dalam pembahasan mengenai partai politik, maka pokok uraian akan berkisar pada pengertian kelembagaan. Dalam hal ini lembaga-lembaga atau organisasiorganisasi yang ikut serta dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.

Ada beberapa teori yang mengemukakan bagaimana struktur kepartaian dalam suatu sistem politik. Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties membagi kepartaian ke dalam dua struktur, yaitu struktur langsung dan tidak langsung.

Yang dimaksudkan dengan struktur langsung ialah kepartaian yang tersusun atas individu-individu yang telah mengisi formulir keanggotaan, membayar iuran bulanan partai serta menghadiri rapat-rapat cabang partai, yang sedikit banyak, secara teratur.
Anggota-anggota partai itu sendirilah yang membentuk partai, dan keanggotaan partai tidak terbentuk melalui pengelompokan sosial lainnya.

Berbeda dengan struktur langsung, dalam struktur tidak langsung keanggotaan partai terbentuk melalui organisasi-organisasi kepentingan, seperti organisasi buruh, koperasi dan kelompok intelektual, yang bersatu untuk mendirikan suatu organisasi bersama. Dalam pengelompokan ini tidak ada pendukung atau anggota-anggota partai selain anggota-anggota organisasi sosial tersebut.

Dalam struktur tidak langsung ini, keanggotaan partai yang sesungguhnya sangat berbeda dari keanggotaan komponen kelompok sosialnya. Di dalam bentuk ini, seseorang tidak merupakan anggota sesuatu partai melainkan sebagai anggota sesuatu organisasi sosial yang membentuk partai itu. Tetapi pola tidak langsung ini dapat ditandai melalui prinsip bahwa setiap anggota organisasi sosial pembentuk partai akan dianggap sebagai anggota partai jika ia tidak menyatakan yang sebaliknya.

Dalam pengertian kelembagaan, kelompok kepentingan dan kelompok penekan menghimpun sejumlah individu atas dasar kesamaan kepentingan atau isu tertentu. Misalkan mereka diikat oleh kesamaan profesi, minat, keprihatinan atas sebuah masalah, ideologi, suku, agama, wilayah, dan lain sebagainya.

Tujuan mereka berhimpun dalam kelompok kepentingan dan kelompok penekan adalah bagaimana agar mereka bisa mempengaruhi proses pembuatan undang-undang atau pembuatan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan atau tuntutannya. Dengan kalimat lain, mereka berusaha untuk mempengaruhi para wakil rakyat di parlemen, termasuk
kalangan pemerintahan.

Hal lain yang membedakan kelompok kepentingan dan kelompok penekan dibandingkan dengan partai politik adalah masalah keikutsertaan dalam pemilu. Partai politik dibentuk dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Karenanya partai politik ikut dalam pemilu yang merupakan media sirkulasi atau pergantian elite politik secara damai dan berkala.

Kelompok kepentingan dan kelompok penekan dibentuk tidak dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan. Karenanya kelompok kepentingan dan kelompok penekan tidak mengambil bagian sebagai peserta pemilu.

Peranan Partai Politik, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekan

Pembahasan mengenai peranan partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan di dalam sistem politik Indonesia tentunya lebih jelas dengan melihat bagaimana perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam sistem politik itu sendiri. Dalam konteks ini, kita dapat membagi sistem politik Indonesia ke dalam empat periode.

Periode pertama
ialah masa Demokrasi Parlementer yang berlangsung sejak 1945 sampai 1959. Dalam periode ini sebenarnya kita bisa membagi lagi ke dalam dua masa yakni masa revolusi fisik yang berlangsung dari 1945 sampai 1949 dan masa setelah revolusi fisik dari 1950 sampai 1959. Menyinggung periode 1950 sampai 1959, disini kita perlu ingat bahwa periode Demokrasi Parlementer murni tidak berlangsung sampai tahun 1959, melainkan hanya sampai tahun 1957. Memang dalam tahun 1957 – 1959 secara formal kita masih berada dalam demokrasi parlementer, tetapi dalam arti yang informal dan sesungguhnya, pada masa itu sebenarnya kita berada dalam masa peralihan ke Demokrasi Terpimpin.

Periode kedua ialah sejak 1959 sampai 1966 di mana kita berada dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Berikutnya adalah periode Orde Baru dari 1966 sampai 1998 yang dikenal dengan istilah Demokrasi Pancasila. Periode terakhir adalah era Reformasi yang berlangsung semenjak 1998 dimana sistem demokrasi yang coba dibangun berdasarkan pengertian yang sebenarnya.
Di dalam kerangka inilah kita akan menggambarkan dan menguraikan peranan partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan di Indonesia. Pengaitan semacam ini akan memperlihatkan persamaan dan perbedaan dari peranan partai politik dari satu periode ke periode lainnya.

a. Periode Demokrasi Parlementer (1945 – 1959)
Periode ini termasuk pula masa yang disebut Revolusi Fisik (1945 – 1949), yakni perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Secara formal sistem pemerintahan Presidensil yang berlaku, akan tetapi sistem ini begitu singkat berlakunya yaitu dengan adanya perkembangan yang luar biasa dalam sistem pemerintahan.

Awalnya ada kehendak untuk menjadikan Indonesia sebagai suatu negara yang diperintahkan oleh satu partai, yang ketika itu diberi nama Partai Nasional Indonesia (PNI). Akan tetapi hal itu hanya berlangsung singkat, karena pada awal November 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden yang berisi anjuran pada masyarakat untuk mendirikan partai politik.

Berdasarkan maklumat tersebut, maka tumbuhlah berbagai macam partai politik. PNI yang semula merupakan satu-satunya partai politik yang ada, kemudian menjadi hanya salah satu dari sekian banyak partai. Dalam suasana revolusi, ternyata banyaknya partai politik memberikan kemungkinan pada masyarakat untuk menggerakkan lembaga legislatif yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Namun ini tidak berarti bahwa partai politik telah dapat berperan sebagaimana mestinya di dalam badan legislatif. Penyebabnya, antara lain, pertama, keterlibatan seluruh kekuatan masyarakat didalam revolusi, sehingga tidak memungkinkan pemerintah atau KNIP untuk mengorganisir wakil-wakil dari partai politik untuk berfungsi dalam badan legislatif ini. Kedua, dengan adanya revolusi itu, maka pemilihan umum tidak pula dapat berlangsung. Keadaan ini memberikan dampak terhadap KNIP yaitu bahwa lembaga tersebut tidak mencerminkan kekuatan-kekuatan politik yang nyata didalam masyarakat.

Penunjukan wakil-wakil partai untuk duduk dalam KNIP itu semata-mata berdasarkan kepada perkiraan-perkiraan saja sehingga tidak mencerminkan keadaan atau kekuatan partai politik yang sebenarnya. Jadi misalnya ada partai politik yang mempunyai wakil yang sangat banyak didalam KNIP, tetapi kekuatan riil didalam masyarakat kecil sekali. Contohnya adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI) mempunyai wakil yang cukup banyak di KNIP, padahal kemudian hasil Pemilu 1955 menunjukkan jumlah kursi yang diperoleh partai itu dalam DPR kecil sekali.

Sebaliknya yang terjadi dengan NU dimana dalam KNIP ia mempunyai jumlah wakil yang kecil, padahal dalam Pemilu 1955 ia memperoleh kursi yang jumlahnya beberapa kali lipat daripada jumlah kursi di KNIP.

Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa sistem yang revolusioner itu menyebabkan peranan partai politik di dalam KNIP lebih bersifat simbolis. Memang didalam suasana seperti itu tidak ada kemungkinan untuk menjalankan sistem parlementer dengan baik. Akan tetapi disini ada satu esensi yang sangat penting bahwa suasana yang revolusioner yang tadi itu, masih dipenuhi oleh keinginankeinginan dari pada pimpinan nasional untuk menjalankan suatu sistem yang demokratis dan bersifat parlementer. Itu nampak dari adanya keinginan untuk memberikan peranan kepada partai-partai politik untuk menjalankan pemerintahan.

Keinginan ini jelas terlihat atau tercermin dalam peranan partai politik di dalam bidang eksekutif. Dan dalam bidang eksekutif ini, karena kita mendasarkan diri pada sistem parlementer, maka kita membedakan dua istilah; pertama kedudukan kepala negara sebagai presiden, dan kedua sebagai kepala pemerintahan.

Selama masa ini kedudukan kepala negara dijabat oleh presiden dan wakil presiden, dan tidak dipegang oleh salah satu partai politik. Akan tetapi partai politik lebih banyak peranannya didalam pemerintahan. Kepala Pemerintahan dijabat oleh Perdana menteri (PM), yang ketika itu dipegang oleh Syahrir dari PSI. Kemudian hampir semua anggota kabinet di dalam masa revolusi ini terdiri atas para pimpinan partai atau wakil partai politik.

Jadi, partai politik mempunyai peranan yang besar di dalam pemerintahan Indonesia pada masa revolusi. Peranan partai politik yang besar juga ada di luar bidang pemerintahan, dimana partai politik diberikan kebebasan untuk menyuarakan kepentingankepentingannya.

Keadaan ini cukup tercermin di dalam benturan-benturan atau konflik-konflik politik yang terjadi antara satu kekuatan politik dengan kekuatan politik lain atau antara sekelompok partai politik dengan sekelompok partai politik lain. Pada masa revolusi ini, konflik yang paling menonjol adalah antara kelompok Masyumi dan PNI dengan kelompok kiri yang dimotori oleh PKI. Disini terlihat bahwa PKI adakalanya juga bekerjasama dengan partai-partai politik yang lain, dan sering mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa ataupun sering melancarkan gugatan terhadap pemerintah.

Oleh sebab itu sering terjadi bahwa suatu pemerintah bisa dijatuhkan dengan tindakan-tindakan semacam ini. Dengan demikian dalam masa yang sangat singkat ini kita bisa melihat besarnya frekuensi interaksi antara satu partai dengan partai yang lain.

Kemudian di dalam masa berikutnya: tahun 1950-1959 tepatnya sampai dengan tahun 1957, peranan partai politik masih besar. Di sini benih-benih kehadiran kelompok kepentingan dan kelompok penekan mulai tampak, yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok nonpartai dalam Pemilu 1955 atau setidaknya tidak menyebut dirinya sebagai partai politik. Contohnya adalah IPKI, alias Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

Karena kita sudah kembali kedalam suatu masa yang normal dan karena adanya ketetapan hati dari para pemimpin untuk menyelenggarakan sistem parlementer, maka didalam masa ini partai politik mempunyai peranan yang paling besar dalam sejarah Indonesia.

Peranan partai politik yang besar itu melampaui peranan kelompok kepentingan dan kelompok penekan itu sendiri. Peranan partai politik yang besar pada masa itu hanya bisa dibandingkan dengan peranan partai politik di era reformasi (pasca-Mei 1998).

Maka diawal tahun 1950-an yaitu sebelum diadakan pemilu, partai politik juga mendapat peranan yang lebih besar daripada sebelumnya, dalam arti bahwa dengan adanya DPR, maka kedudukan daripada wakil-wakil partai didalam lembaga legislatif itu telah lebih baik bila dibandingkan dengan masa revolusi. Didalam parlemen ini, anggota-anggota DPR yang terdiri atas wakil-wakil partai itu telah bisa menjalankan fungsi mereka sebagai lembaga perwakilan.
Didalam perdebatan-perdebatan parlemen kita bisa melihat bahwa anggota atau wakil-wakil partai itu mempunyai kebebasan luas, dimana mereka dapat menyuarakan pendapat mereka secara utuh. Memang didalam masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an ini parlemen sudah berfungsi; dan peranan partai politik akan lebih terlihat lagi apabila kita kaitkan kedudukan partai politik didalam parlemen dengan di dalam pemerintahan.

Sistem politik Indonesia pada masa parlementer ini memang mencerminkan Demokrasi Parlementer yang bersifat murni, di mana pertukaran-pertukaran gagasan terjadi secara cukup terbuka antara parlemen atau pemerintah. Pemerintah yang dipimpin oleh seseorang tokoh partai dalam masa ini memang harus mempertanggungjawabkan
segala kebijaksanaannya kepada parlemen.

Di dalam forum parlemen inilah, anggotaanggota partai politik yang tidak duduk didalam pemerintahan atau yang sering dikenal dengan istilah oposisi dapat memainkan peranan mereka yang besar, terutama sekali didalam mengawasi tingkah laku pemerintah.

Jadi terlihat dengan jelas bahwa peranan partai politik besar sekali di dalam parlemen, disamping besar juga di dalam kabinet. Peranan partai politik yang demikian besar berlangsung sampai dengan akhir 1956. Peranan partai politik disini dikukuhkan oleh pemilu yang diadakan pada tahun 1955 dimana partai politik yang ikut bersaing berjumlah hampir 30 buah.

Dari jumlah itu, hanya empat partai politik yang keluar sebagai pemilik suara/kursi terbanyak didalam parlemen (lihat tabel).

Tabel Hasil Pemilu 1955
Nama Partai Jml Suara Persentase Kursi Parlemen
PNI 8.434.653 22,3% 57
Masyumi 7.903.886 20,9% 56
NU 6.955.141 18,4% 45
PKI 6.176.913 16,4% 39
Lain-lain 8.314.705 22,0% 59

Total 37.785.298 100% 257

Dari hasil Pemilihan Umum 1955 itu, peranan masing-masing partai politik didalam parlemen dikukuhkan, walau terjadi pergeseran posisi masing-masing partai. Partai yang semula dianggap partai besar seperti PSI, ternyata kekuatan riilnya didalam masyarakat kecil. Sebaliknya NU yang di KNIP memperoleh kursi sedikit, hasil Pemilu 1955 itu justru menunjukkan sebagai partai besar.

Juga didalam pemerintahan, partai politik mengukuhkan diri sebagai kekuatan yang menentukan. Akan tetapi sistem ini tidak bisa berlangsung lama, sebab konflik politik menjadi besar setelah pemilihan umum lantaran pemilihan umum itu sendiri tidak menghasilkan partai mayoritas.

Keempat partai politik besar yang dihasilkan oleh pemilihan umum itu tidak pernah dapat bekerjasama, sehingga terjadilah konflik yang tidak dapat dihindarkan diantara partai-partai itu. Konflik tersebut memuncak
pada tahun 1956, didalam Dewan Konstituante yang sedang merumuskan UUD yang tetap buat Indonesia. Disini terjadi benturan yang fatal antara beberapa partai politik.

Konflik antara kekuatan politik ini mengancam stabilitas negara, sehingga pada akhirnya Angkatan Darat menghentikan kegiatan-kegiatan Dewan Konstituante.

Setelah itu terjadilah kemerosotan peranan partai politik di Indonesia.
Di dalam tahun-tahun antara 1957-1959 partai-partai politik yang banyak jumlahnya itu masih mempunyai eksistensi, tetapi peranan mereka dibatasi didalam parlemen.

Karena periode 1957-1959 ini merupakan suatu masa transisi dari sistem
parlementer ke Demokrasi Terpimpin maka pemerintahan sudah mulai pula dimasuki oleh kekuatan-kekuatan politik nonpartai. Perwujudannya adalah adanya menteri menteri yang tidak berasal dari partai politik.

Didalam tahun 1957 untuk pertama kalinya seorang nonpartai menjadi PM, yaitu Ir. Djuanda. Ini merupakan titik awal daripada merosotnya peranan partai politik di Indonesia. Kemudian di dalam tahun 1957 ini pula kita melihat peningkatan pengaruh dan peranan angkatan Darat di dalam politik, yaitu melalui SOB (Keadaan Darurat Perang) di mana posisi kekuasaan Angkatan Darat menjadi lebih besar terutama di daerah-daerah.

Peralihan ke Demokrasi Terpimpin juga disebabkan oleh pertarungan sengit di parlemen, yakni antara para pendukung Pancasila dan pendukung Islam sebagai dasar negara. Polemik itu berujung pada macetnya pembicaraan soal dasar negara ini di Dewan Konstituante sampai dengan tanggal 2 Juni 1959.

Kemacetan inilah yang menjadi faktor pemicu Soekarno untuk melakukan intervensi politik dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inti dari isi dekrit tersebut adalah memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan Dewan Konstituante.

Ciri utama yang bisa dilihat di era Demokrasi Parlementer ini adalah kegiatan partisipasi politik berjalan dengan intensitas tinggi, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai primodialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun di sisi lain ditandai oleh tersentralisasinya kekuasaan di tangan elit-elit partai politik, dan di pihak lain masyarakat justru berada dalam keadaan teralienasi dari proses politik.

Dalam keadaan demikian, Presiden Soekarno yang amat tidak menyukai distribusi kekuasaan yang menempatkannya sebagai Presiden simbolik merupakan pihak yang merasa dirugikan. Militer pun berada dalam posisi lebih kurang sama dengan Soekarno.


Akhirnya, masa ini mengalami kehancuran setelah mengalami perpecahan antarelite dan antarpartai politik di satu sisi; serta di sisi lain akibat adanya sikap Soekarno dan militer yang menentang model demokrasi yang dijalankan. Perpecahan antarelit partai tersebut disebabkan oleh dua hal. Yakni terakumulasinya rasa permusuhan selama sekian lama telah menyebabkan memuncaknya permusuhan itu hingga berada di atas titik toleransi; dan merebaknya frustasi terhadap kesulitan ekonomi dan mulai mengaburnya harapan-harapan revolusi.

Pertentangan antar elit partai tersebut kemudian merebak menjadi pertentangan politik yang bersifat luas. Sebabnya adalah adanya kecenderungan partai untuk memperluas dukungan dengan memanfaatkan kesetiaan primodial dalam masyarakat. Sehingga dukungan terhadap partaipun meluas pula menjadi bersifat kedaerahan dan golongan.


Perpecahaan yang akut antarpartai politik yang diperparah oleh konflik
tersembunyi antar kekuatan partai dengan Soekarno dan militer, serta adanya ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional, telah membuat periode revolusi dan demokrasi parlementer ditandai oleh krisis integrasi dan stabilitas yang parah.

Salah satu pergolakan itu adalah munculnya Gerakan Darul Islam (DI/TII) sebagai gerakan politik yang terpenting dan menimbulkan masalah serius bagi pemerintah pusat pada dekade 1950-an. Gerakan ini bermula di Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1949 dengan diproklamirkannya Negara Islam Indonesia, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, serta mempengaruhi beberapa gerakan di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Halmahera.

Dari sejumlah daerah yang disebut di atas itu, tiga daerah yang terbesar pengaruhnya yakni di Jawa Barat dengan pemimpinnya Kartosuwirjo, Daud Beureueh di Aceh, dan Sulawesi Selatan yang dikomandani Kahar Muzakkar. Gerakan ini telah ikut memberikan peluang bagi Soekarno dan militer untuk membuka pintu baru bagi perkembangan politik di tanah air.


Setelah sukses dengan sosialisasi Konsepsi Presiden Soekarno 1957, realisasi nasionalisasi ekonomi, dan diterapkannya UU Darurat, maka pintu ke arah Demokrasi Terpimpin yang diidam-idamkan Soekarno pun terbuka lebar. Dan hal itu mencapai klimaksnya dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengantarkan Indonesia ke periode Demokrasi Terpimpin. Walhasil, dengan dekrit yang didukung oleh kalangan militer itu, Indonesia memasuki babak baru.

b. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Menurut penjelasan resmi pemerintah Soekarno, Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi murni yang berdasarkan suatu ideologi yang memimpin dengan menentukan tujuan serta cara mencapainya. Demokrasi Terpimpin Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh ideologi negara yaitu Pancasila dan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk mufakat diantara semua golongan progresif.

Walaupun resminya demikian, namun pada tahap implementasinya Soekarno justru bertindak di luar koridor demokrasi. Pada era ini dilakukan pemangkasan partai politik dari semula 24 buah menjadi hanya 10. Partai politik yang mendukung Demokrasi Terpimpin, seperti PNI, PKI, NU, PSII, dan Perti, diizinkan tetap eksis. Mereka tampil sebagai wakil nasionalis, agama, dan komunis dalam Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis), sebuah jargon politik Soekarno dalam rangka menciptakan persatuan bangsa.


Demokrasi Terpimpin merupakan suatu sistem politik yang bertolah belakang dengan sistem parlementer. Di dalam Demokrasi Terpimpin ini, pemerintahan menganut sistem presidensil, dimana Presiden tidak saja merupakan kepala negara tetapi juga kepala pemerintahan. Ini berarti bahwa semua kebijaksanaan pemerintahan dikendalikan oleh presiden.

Dalam sistem ini juga, eksekutif tidak lagi bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada presiden. Parlemen dianggap sebagai suatu badan yang menjadi pendamping eksekutif. Walaupun parlemen masih mempunyai beberapa hak kontrol, sehingga badan ini masih dapat mengawasi jalannya pemerintahan, tetapi kekuasaannya dalam sistem Demokrasi Terpimpin jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan era parlementer.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal itu terjadi adalah tidak adanya pembatasan yang tegas antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam membuat UU. Dalam hal ini badan eksekutif diberi kemungkinan untuk membuat UU. Dalam salah satu pasal UUD 1945 dikatakan bahwa Presiden atau Pemerintah dapat mengajukan RUU pada parlemen dan pemerintah dapat mengajukan dan atau membuat peraturan pemerintah
pengganti UU.

Disini terlihat bahwa ada kekuasaan legislatif yang dijalankan oleh eksekutif. Dengan demikian, apabila sistem Demokrasi Terpimpin berjalan secara murni dan konsekuen, dalam arti mengikuti garis-garis yang tersurat dalam UUD 1945, kita dapat mengatakan bahwa peranan partai politik tetap kecil.

Sebagian besar peranan partai politik dalam masa Demokrasi Terpimpin ini diletakkan di dalam parlemen, padahal parlemen tidak memiliki kekuasaan sebesar kekuasaannya dalam sistem parlementer.

Faktor lain yang ikut memperkecil pengaruh partai politik ialah
diberlakukannya penetapan Presiden (Penpres) No. 7/1959 tentang syarat-syarat penyederhanaan partai politik. Peraturan tersebut mensyaratkan bahwa partai politik yang dapat diakui pemerintah harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan. Dengan demikian sejumlah besar partai politik, yang sebelumnya banyak berperan dalam kehidupan politik Indonesia, terutama partai-partai kecil, tidak mendapat pengakuan pemerintah.

Jumlah partai politik pun merosot tajam; dari sekitar 30 di masa parlementer menurun hingga sekitar 10 di masa Demokrasi Terpimpin. Sementara itu dua partai penting di zaman parlementer, PSI dan Masyumi, dibubarkan. Ada dua versi mengenai pembubaran partai-partai tersebut, yakni pertama menyebutkan bahwa beberapa tokoh kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI pada tahun 1958. Versi lainnya mengungkapkan adanya perbedaan pandangan antara Presiden Soekarno di satu pihak dan PSI serta Masyumi di lain pihak dalam soal Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 1960.

Masyumi yang secara bulat menolak APBN yang diajukan pemerintah. Ketika itu partai-partai politik didalam parlemen mengatakan APBN yang diajukan pemerintah akan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Oleh sebab itu PSI dan Masyumi dibubarkan Soekarno. Besarnya kekuasaan presiden secara sistematis ikut memperkecil peranan partai politik. Para tokoh partai politik yang menentang kebijaksanaan presiden dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.

Kasus seperti ini banyak terjadi dimasa itu. Sebagai akibatnya berkuranglah keberanian para tokoh tokoh partai lainnya utuk mengutarakan pendapat yang bertentangan dengan kehendak Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga membubarkan DPRS pada bulan Maret 1960. Ini juga berkaitan erat dengan penolakan partai-partai di dalam parlemen terhadap usul APBN yang diajukan pemerintah. Tiga bulan kemudian, Juni 1960, Soekarno membentuk parlemen baru yang disebut DPR-GR (Gotong Royong) disamping itu ia juga membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam bulan November. Kedua lembaga ini, oleh Soekarno, dianggap cocok untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin.


Dalam DPR-GR ini pun sebenarnya terjadi penciutan peranan partai politik, sebab kedalamnya juga dimasukkan anggota-anggota parlemen yang tidak berasal dari partai politik. Peranan partai politik di dalam pemerintahan jauh lebih merosot lagi bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kemerosotan ini tidak dalam arti jumlah anggota kabinet yang berasal dari partai politik berkurang, karena kalau dilihat dari segi jumlah memang banyak sekali anggota partai politik yang duduk di pemerintahan, melainkan dalam arti kualitatif.

Dalam hal ini peranan yang mungkin dimainkan oleh partai politik dalam pemerintahan berkurang karena sistem Demokrasi Terpimpin menghendaki adanya suatu pimpinan yang kuat di bawah Presiden. Semua ini mengakibatkan segala arahan atau kebijaksanaan pemerintah
ditentukan oleh Presiden.

Pergulatan politik juga berlangsung didalam segitiga politik antara Soekarno sebagai pengimbang, militer di kanan dan PKI di kiri. PKI merupakan satu-satunya partai politik yang dapat memainkan peranan waktu itu. Di tengah-tengah merosotnya atau dikuranginya peranan partai politik lainnya, PKI justru memperoleh atau diberikan peranan yang besar. Perannya malah dapat dikatakan tidak sebanding dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum 1955. Ada yang mengatakan bahwa luasnya peranan PKI ini disebabkan partai tersebut bisa menyesuaikan diri dengan gagasan-gagasan Soekarno.

Didalam masa Demokrasi Terpimpin boleh dikatakan bahwa PKI, yang tadinya merupakan partai terkecil diantara empat partai besar pemenang pemilu 1955, menjadi satu partai terbesar dalam masa ini. Yang dimaksudkan dengan terbesar disini adalah dalam arti bahwa ia
mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden.

Militer, terutama angkatan Darat, juga menjadi kekuatan politik efektif pada masa Demokrasi Terpimpin. Peranan politik militer mulai tampak sejak tahun 1957, ketika Soekarno memberlakukan keadaan darurat perang di Indonesia sehubungan dengan terjadinya pemberontakan di daerah-daerah. Berdasarkan UU keadaan darurat inilah elemen-elemen Angkatan Darat dapat ikut menentukan keputusan-keputusan politik. Banyak perwira Angkatan Darat duduk dalam Dewan Nasional. Lembaga ini bertanggungjawab dalam mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah pada masa itu dan dipimpin oleh Presiden Soekarno.

Pada masa ini, pergulatan politik yang paling menyolok adalah persaingan antara Angkatan Darat dan PKI. Keduanya saling bersaing untuk merebut posisi penting pemerintahan, dan terutama memperebutkan pengaruh terhadap Presiden. Persaingan itu terlihat antara lain pada adanya gagasan perwakilan golongan fungsional dalam DPR-GR dan MPRS sebagaimana diusulkan Presiden Soekarno.

Usul Soekarno itu mendapat tanggapan positif dari kalangan Angkatan darat, tapi ditolak oleh PKI. Lalu juga dalam hal gagasan Soekarno mengenai pembentukan “Angkatan Ke-Lima” yang ditolak oleh Angkatan Darat, tapi didukung oleh PKI. Selama masa ini, memang, hanya militerlah yang paling mampu menangkal setiap serangan-serangan PKI, baik secara politis maupun fisik. Sementara itu, bagi PKI, Presiden Soekarno secara sadar ataupun tidak, berada didalam pengaruhnya.Disamping juga Presiden Soekarno menganggap militansi anggota-anggota PKI dapat mewujudkan gagasan-gagasan revolusionernya.

Adapun peranan dari kelompok kepentingan dan kelompok penekan di era ini nyaris tidak menunjukkan hal yang berarti di tengah-tengah dominasi Presiden Soekarno, berikut pertarungan antara PKI dengan militer. Walau demikian masa ini dapat dikatakan sebagai periode embrional bagi penguatan peran kelompok kepentingan dan kelompok penekan.

Mereka pada akhirnya akan menjadi salah satu penentu dalam sistem politik Indonesia, terutama ketika proses kelahiran Golkar terjadi di penghujung masa Demokrasi Terpimpin ini.

Pada tahun-tahun antara 1962 sampai 1965, Presiden Soekarno semakin menggiatkan gagasan politik “mercusuar”nya, baik didalam maupun diluar negeri. Secara politis, memang, posisi diplomasi Indonesia begitu menonjol di dunia Internasional. Begitulah Presiden Soekarno giat dalam mengecam negara-negara Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dan merangsang pergerakan nasionalisme di benua Asia dan Afrika untuk menentang setiap bentuk penjajahan.

Kemudian dia juga menghimpun negara-negara baru di Asia dan Afrika untuk membentuk suatu kekuatan dunia baru. Indonesia ketika itu mulai dengan mengadakan pesta olahraga Internasional bagi negara-negara baru merdeka, yang dinamakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Kegiatan ini sebenarnya masih suatu awal dari langkah berikutnya yaitu penyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo), yang akan menjadi tandingan PBB. Soekarno tidak suka pada PBB, sebab dalam pandangannya badan dunia itu telah dikuasai oleh kelompok negara Nekolim. Conefo tidak pernah terwujud karena persoalan dalam negeri terus mendesak, antara lain karena kemerosotan ekonomi Indonesia sudah mencapai puncaknya.

Inflasi berkisar rata-rata 230 persen pertahun. Persediaan bahan pokok kebutuhan rakyat, seperti beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain jauh dari mencukupi, sehingga bahan-bahan tersebut sangat sulit diperoleh. Kesulitan ekonomi ini masih ditambah lagi dengan politik konfrontasi dengan Malaysia, yang mengharuskan pemerintah membiayai kegiatan operasi-operasi penyusupan dan pengerahan pasukan ke daerah perbatasan. Situasi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk melatih anggota-anggotanya di dalam kegiatan sukarelawan Indonesia.

Melalui kegiatan ini PKI mempersiapkan anggota-anggotanya secara militer untuk mengadakan kudeta berdarah pada tanggal 30 September 1965. Kudeta tersebut, atau apa yang dikenal dengan nama “G-30-S/PKI” dapat dipatahkan oleh militer bersamasama kekuatan anti komunis lainnya. Periode Demokrasi Terpimpin diakhiri setelah peristiwa itu, dan militer serta kekuatan-kekuatan anti-komunis kemudian melahirkan Orde Baru.

Siswa Sekolah