Jumat tanggal 26 desember yang lalu siswa siswi sekolah politik kerakyatan kibar menggelar acara stadium general. Acara yang diselenggarakan rutin setiap angkatan ini adalah salah satu bentuk tugas kelompok yang harus dilakukan oleh para siswa. Stadium general kali ini kebetulan diadakan kerjasama dengan PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina. Pembicara yang berkesempatan hadir dalam acara tersebut antara lain adalah; Akbar Tanjung (Mantan ketua partai Golkar), Budiman Sujatmiko (Aktifis/Caleg PDIP), Arif Susanto (Aktifis KIBAR) dan perwakilan dari PSIK.
Beberapa catatan dari forum stadium general tersebut seperti yang diberitakan di harian republika antara lain adalah; Pemilu 2009 diperkirakan tak akan mengubah budaya politik Indonesia jika kaum marjinal tetap tak berubah nasibnya. Politik yang mengandalkan hubungan paternalistik belum juga akan terhapus pada pemilu mendatang.
Untuk itu, kalangan cendekiawan ditantang masuk ke ranah politik. Tujuannya untuk mengubah warna dominasi partai politik yang tidak mencerdaskan. ''Kalau budaya politik mau berubah, elite politik harus bisa memberi ruang lebih besar kepada rakyat pinggiran,'' kata pengajar politik Universitas Paramadina sekaligus aktifis kibar, Arif Susanto, Dia mengatakan, saat ini semangat tersebut belum ada
Peningkat an partisipasi dan kesadaran berpolitik masyarakat, kata Arif yang juga penggerak sekolah politik KIBAR ini, baru akan terbangun ketika masyarakat pinggiran yang menjadi mayoritas warga negeri ini telah terberdayakan. ''Tugas berat yang menanti kita adalah memperkuat akses sumber daya kepada masyarakat sehingga orang sadar dan berdaya untuk berpartisipasi dalam politik,'' kata dia.
Calon anggota legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Budiman Sudjatmiko, mengatakan, budaya politik rasional baru akan terbentuk di Indonesia ketika masyarakat Indonesia menjadi lebih urban. Kemudian, sebut dia, akses informasi juga lebih gampang didapatkan masyarakat.
Menurut Budiman, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan penetapan caleg terpilih menggunakan suara terbanyak, sedikit banyak memang akan menggerus budaya paternalistik dalam politik kerpartaian Indonesia. Demikian juga, imbuh dia, kedekatan para praktisi politik kepada para pemilih akar rumputnya.
''Tapi, hal itu pun tetap belum akan cukup memutus secara radikal budaya patron-klien (paternalistik). Kini, sifatnya baru gradual saja,'' kata dia.
Namun, Budiman berpendapat, politik patron-klien tersebut belum menyalahi etika politik. Karena, kata dia, dalam praktik di lapangan saat ini, politik tak bisa semata mengandalkan keterkaitan emosional masa lalu melalui budaya patronisasi tersebut.
''Di daerah pemilihan saya, saya mengombinasikan kapan harus mengangkat soal patron dan kapan harus bicara rasional,'' kata Budiman
Ke depan, kata Budiman, para cendekiawan dan akademisi ditantang untuk terlibat dalam pencerahan politik Indonesia. Yaitu, dengan menjadi mesin pemikir partai politik. Menurutnya, para cendekiawan terlalu genit jika berdalih kredibilitas akademiknya kemudian menolak menunjukkan sikap politiknya. ''Tantangan politik 2009 harus menjadi fase terakhir dari politik yang tak rasional sama sekali,'' tegas dia.
Budiman juga berpendapat, jika ingin politik Indonesia membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan, partai politik harus tegas menunjukkan platform-nya. ''Sekarang ini semua mirip. Mengaku sosialis kerakyatan, tapi mempraktikkan liberalisme. Ke depan, partai dengan platform yang mirip sebaiknya melakukan fusi,'' tegas dia.
Politikus senior, Akbar Tandjung, juga berpendapat sama, yaitu saat ini semua partai politik yang ada nyaris tak ada bedanya dalam soal platform. Padahal, kata dia, partai politik seharusnya dibangun karena ada suatu gagasan yang hendak diperjuangkan.
''Dengan kondisi sekarang, partai politik hanya menjadi kendaraan politik untuk kekuasaan. Seharusnya, partai poltik menjadi sarana untuk mewujudkan gagasan,'' kata Akbar.
Menurut Akbar, partai politik hanya sebagai kendaraan menuju kekuasaan. Akibatnya, segala cara dilakukan yang seolah-olah dihalalkan dalam berpolitik sekarang ini. ''Termasuk, politik uang dalam pencalonan legislatif,'' kata dia sembari menyindir praktik uang untuk perebutan nomor urut yang belakangan menjadi tak berguna setelah MK membuat putusan soal penetapan caleg terpilih.
Senada dengan Arif dan Budiman, Akbar mengatakan, pendidikan politik merupakan satu-satunya kesempatan untuk memperbaiki budaya politik Indonesia. Partai politik seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab melakukan pendidikan ini,'' kata Akbar.