
Di negeri ini, kita pernah mengenal istilah “demokrasi terpimpin” yang mengisyaratkan perlunya kepemimpinan kelompok tertentu atau orang per orang tertentu dalam menjalankan demokrasi. Dalam praktiknya, demokrasi semacam ini menimbulkan diskriminasi atas kelompok atau orang per orang lainnya. Yang terjadi pada gilirannya adalah fragmentasi atau perpecahan politik yang tajam antar-kelompok atau golongan atau bahkan antar-individu. Dan di situlah paradoks berlangsung: teorinya demokrasi, tapi praktiknya otoriterisme politik yang menimbulkan perpecahan.
Kemajemukan dalam praktik politik semacam itu tidak dikelola, tetapi dieksploitasi untuk kepentingan sempit dan berjangka pendek. Masyarakat politik dikotak-kotakkan dalam aliran-aliran yang basisnya primordial, untuk kemudian dikuasai. Kemajemukan dipersempit definisinya menjadi aliran politik yang berguna hanya untuk keperluan power struggle. Walhasil kemajemukan tidak dimengerti sebagai potensi sosio-kultural yang musti dikelola melalui instrumen politik.
Praktik semacam ini berulang di era perpolitikan selanjutnya. Dengan embel-embel “Pancasila”, praktik demokrasi di era ini mereduksi kesepakatan para founding fathers kita itu dalam tataran yang teramat praktis. Yaitu untuk melegalkan praktik pelanggengan kekuasaan, dengan menabukan voting dan menganakemaskan ‘musyawarah mufakat’ dalam setiap pengambilan keputusan politik. Tradisi kritik dan koreksi juga diminimalisir sama sekali. Dan, akhirnya, pengakuan pada kemajemukan nyaris hilang sama sekali pada masa itu. Berbeda artinya berbahaya. Berbeda pendapat dimusuhi. Berbeda pemikiran dilarang. Berbeda ideologi dicurigai. Dan seterusnya.
Dalam kondisi semacam itu, orang digiring untuk takut berbeda. Takut kepada perbedaan. Kita dilarang untuk membicarakan (apalagi mengelola) segala sesuatu yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan). SARA menjadi kata-kata sakti untuk memberangus perbedaan. Muara dari praktik semacam ini –lagi-lagi— adalah power struggle. Masyarakat politik lagi-lagi kemudian terkotak-kotak dalam SARA: ada yang dituduh ekstrim kiri, ekstrim kanan, dan seterusnya.
Reformasi dan Kemajemukan
Kini kita telah melampaui kedua era itu. Saat ini kita berada di era yang banyak orang menyebutnya sebagai era ‘reformasi’. Apa yang sudah kita capai? Apakah kita sudah bisa mengelola kemajemukan itu? Apakah kemajemukan sudah menjadi bagian dari nilai yang sudah kita jalankan dalam praktik politik kita? Apa yang perlu dilakukan untuk mencapainya?
Reformasi memang telah membawa perubahan fundamental dalam kehidupan politik kita. Kebebasan menyatakan pendapat kini sudah bisa kita rasakan di mana-mana. Di pemerintahan, legislatif, tempat kerja, sekolah, di jalanan, di media massa, di partai politik dan organisasi sosial lainnya, di lingkungan antar-tetangga, semuanya sudah jamak kita temui kebebasan itu. Kita juga sudah bisa merasakan menjadi tuan di daerah kita sendiri. Otonomi daerah sudah diterapkan. Daerah-daerah kini cukup mandiri dalam menentukan agenda sosial, politik dan ekonominya.
Pemilihan umum tahun 2004 lalu semakin menegaskan komitmen negeri ini untuk berdemokrasi. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung, anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga dipilih secara langsung untuk mewakili daerah masing-masing. Dengan mekanisme perundang-undanganan yang memiliki semangat demokratis, para walikota, bupati, gubernur dan para wakilnya kini juga telah dipilih langsung oleh rakyat. Itulah sebagian dari capaian-capaian agenda reformasi kita.
Keindonesiaan dan KemajemukanSatu agenda yang paling berat untuk kita capai di era reformasi ini memang terletak pada bagaimana kita dapat mengelola kemajemukan di tengah hiruk pikuk demokratisasi tadi. Bagaimana mengelola kemajemukan suku, agama, ras dan antar-golongan di negeri yang memiliki sejarah panjang pergolakan antar-daerah, separatisme, dan beragam ketegangan rasial, suku dan agama itu? Bagaimana model kesepakatan Helsinki untuk Aceh dapat diteruskan dalam kerangka “keindonesiaan”? Bagaimana isu-isu semacam OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat diselesaikan? Bagaimana kita mengelola mengemukanya kembali simbol-simbol kultural dan politik separatisme seperti bendera “GAM” di Aceh, bendera “Bintang Kejora” di Papua, dan “Benang Raja” di Maluku? Bagaimana kita memaknai “keindonesiaan” dalam konteks kekinian?
Negeri ini adalah satu di antara negeri yang paling majemuk di muka bumi ini. Adalah sebuah keharusan bagi kita untuk berfikir dan bekerja ekstra-keras untuk mengelolanya. Secara ideologis, kita telah memiliki ketatapan untuk hidup dan bercita-cita bersama dalam satu negeri: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita juga telah mempunyai semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti pengakuan bahwa kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dengan ideologi dan semboyan tersebut kita pada hakikatnya telah memiliki modal untuk mengelola segenap perbedaan itu.
Modal yang lebih dari cukup itu dapat secara bertahap kita investasikan pada 2 (dua) langkah atau agenda berikut ini. Pertama, sebagai sesuatu yang final, NKRI memerlukan lebih dari sekedar kekuatan fisik (yang tangible) untuk mempertahankannya. Ia memerlukan instrumen-instrumen intangible yang bersumber dari kekayaan khazanah sosio-kultural dan ekonom-politik segenap suku bangsa, kelompok-kelompok, anak-anak bangsa sendiri. Sistem politik yang demokratis adalah syarat utama untuk mengaktualisasikan potensi-potensi itu. Potensi sosio-kultural perlu dikembangkan demi terwujudnya praktik-praktik multikulturalisme di Indonesia. Potensi ekonomi-politik perlu dikembangkan demi mengantisipasi globalisasi kapitalisme yang cenderung semakin memperlebar berbagai kesenjangan struktural di negeri ini.
Kedua, perbedaan antar-suku, agama, ras dan golongan perlu dikelola dengan prinsip-prinsip yang kita kenal dalam ilmu hitung. Ini analoginya: ¼ (seperempat) + 1/3 (sepertiga) + ½ (setengah) + ¾ (tiga perempat) tidak bisa dijumlahkan manakala penyebutnya tidak dibuat sama terlebih dahulu. Untuk membuatnya menjadi bilangan-bilangan yang bisa dijumlahkan, bilangan pecahan ¼, 1/3, ½ dan ¾ sama-sama memerlukan penyebut 12. Manakala penyebutnya sudah sama, yaitu 12, maka ketiga pecahan tadi dapat dijumlahkan, sehingga menghasilkan 22/12 (dua puluh dua perdua belas) atau 1 10/12 (satu sepuluh perdua belas) atau 1 5/6 (satu lima perenam).
Dalam proses penghitungan itu, ¼ menjadi 3/12 (hakikatnya tetap ¼), 1/3 menjadi 4/12 (hakikatnya tetap 1/3), ½ menjadi 6/12 (hakikatnya tetap ½), dan ¾ menjadi 9/12 (hakikatnya tetap ¾). Walaupun mengalami perubahan bentuk, ¼, 1/3, ½ dan ¾ tetap diakui eksistensinya. Setelah mengalami perubahan bentuk, barulah keempat bilangan pecahan itu dapat dijumlahkan. Artinya, kalau ¼, 1/3, ½ dan ¾ mewakili satuan atau entitas yang berbeda-beda, maka angka penyebut 12 adalah common denominator-nya. Angka 12 itulah Indonesia atau “Keindonesiaan” dalam konteks kemajemukan kita.
Bila kita terapkan untuk kehidupan kemajemukan kita, Aceh + Batak + Tapanuli + Minang + Papua + Jawa + Madura + Dayak + Sasak + Sunda + Betawi + Bugis + Toraja+ Maluku+ dlsb. + dst. tidak otomatis menjadi Indonesia. Indonesia bukanlah penjumlahan dari suku-suku itu. Indonesia hanyalah ‘penyebut’, ia hanyalah common denominator yang menjadi cita-cita bersama. Demikian seterusnya. Inilah yang dibayangkan oleh Benedict Anderson ketika ia membayangkan suatu ‘imagined community’ yang menghubungkan dan menyatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi satu bangsa. Kelompok-kelompok yang dulu juga dibayangkan oleh Sukarno, presiden pertama dan salah seorang founding father kita. Kelompok-kelompok yang memiliki cita-cita bersama: Indonesia (Riza Noer Arfani, PPSK)