Datanglah kepada Rakyat, Belajar Bersama Rakyat, Hidup Bersama Rakyat
, Mulailah dari apa yang diketahui dan dimiliki Rakyat



Tentang Sekolah Politik Kerakyatan


LATAR BELAKANG :


Dua di antara masalah dasar terkait dengan persoalan sosio-politik Indonesia kontemporer adalah lemahnya kepemimpinan dan miskinnya inisiatif.

Distribusi sumberdaya masih senjang, tatanan politik masih belum kukuh, dan belum kunjung pasti tentang kapan harapan kesejahteraan akan terwujud.

Meskipun abad baru telah lahir, generasi berkarakter kerdil masih menjadi aktor-aktor utama dalam perjalanan Indonesia.

Melahirkan pemimpin berkarakter kerakyatan kuat menjadi suatu tantangan bersama. Suatu tantangan yang mesti diupayakan untuk diwujudkan melalui suatu kerja strategis, dan bukan semata ditunggu kedatangannya sebagai ‘ratu adil’.

TUJUAN :

Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR hadir sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat daya hidup bangsa, yang perlu untuk selalu dibarukan. Mengingat masalah kebangsaan Indonesia selalu menuntut kesiapan untuk menghadapi tantangan, pendidikan politik dalam hal ini diarahkan pula untuk menumbuh-kembangkan inisiatif-inisiatif baru.

VISI :

Mengembangkan pendidikan politik kerakyatan berbasis nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan untuk menumbuhkan karakter kepemimpinan politik yang penuh inisiatif dan berwawasan kesejahteraan sosial serta kemandirian Bangsa.

MISI :

Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR dimaksudkan sebagai bagian dari alternatif pemecahan persoalan kepemimpinan politik dengan program-program yang disusun & diarahkan untuk dapat menjawab tantangan kepemimpinan masa datang. Program pendidikan dan pelatihan dirancang sebagai suatu media pembelajaran yang tidak hanya memberi pengetahuan teoretis, melainkan dilengkapi juga dengan keterampilan-keterampilan praktis dalam berpolitik.

Membangun kerjasama dengan berbagai kalangan, baik pelaku politik, lembaga non-pemerintah, pers, maupun pihak-pihak lain sebagai sarana penguatan jaringan dan penyebarluasan informasi guna memperluas wawasan politik dan menumbuhkan semangat kebersamaan bangsa secara keseluruhan.

BENTUK KEGIATAN BELAJAR :

Setiap Angkatan, waktu belajar dialokasikan selama 6 (enam) bulan dengan bentuk & jenis kegiatan belajar :

1. Kuliah dan diskusi di kelas Setiap hari Sabtu jam 14.00 wib s/d selesai
2. Pelatihan khusus terpadu untuk pengembangan ketrampilan politik dan Aplikasi Lapangan (program aksi) serta Pendalaman Materi sebanyak tiga kali setiap angkatan.
3. Stadium General dengan Tokoh-Tokoh Politik, Masyarakat & Agama secara isendental
4. Outbond training untuk Team Building dan Study Orientasi Kerakyatan, 1 kali setiap angkatan di awal periode belajar.
5. Aplikasi lapangan (program aksi) dengan terjun langsung ke tengah rakyat untuk melatih ketrampilan Advokasi / Bimbingan / Pendidikan / Penyuluhan Rakyat 2 malam 3 hari.
6. Dialog & Diskusi Interaktif bulanan

PROGRAM

Pendidikan dan Pelatihan
Mengadakan pendidikan politik bagi kalangan mahasiswa berpotensi untuk mengembangkan keterampilan politik dan karakter kepemimpinan.

Mengembangkan wawasan dan kemampuan politik praktis melalui praktik kerja politik magang politik.

Mengadakan diskusi, seminar, dan pelatihan sebagai bagian dari kajian yang diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pemecahan persoalan sosio-politik.

Mengembangkan kerjasama dengan kekuatan-kekuatan civil society di Indonesia untuk membangun kesadaran politik dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi.

Penyebarluasan Informasi
Mengembangkan jaringan informasi sosio-politik dengan berbagai kalangan pemerhati maupun pelaku politik.

Mengembangkan kerjasama dengan media massa untuk mengembangkan isu-isu demokrasi.

Menerbitikan suatu buletin hasil kajian Sekolah Politik Kerakyatan tentang isu-isu sosial dan politik.

Mengadakan perpustakaan politik Indonesia yang dapat diakses umum.



Siswa Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR saat Outbond di Sukabumi, Jawa Barat

Rabu, 06 Februari 2008

Materi Sekolah 1

PARTAI POLITIK, KELOMPOK KEPENTINGAN,
DAN KELOMPOK PENEKAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA I

Pengertian Partai Politik, Kelompok Kepentingan, Dan Kelompok Penekan secara teoritis yang dimaksudkan dengan kekuatan-kekuatan politik bisa masuk dalam pengertian individual maupun pengertian yang bersifat kelembagaan.
Dalam arti yang individual, kekuatan-kekuatan politik tidak lain adalah aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang ingin mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.
Secara kelembagaan kekuatan politik bisa berupa lembaga-lembaga, organisasi-organisasi ataupun bentuk-bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.

Dengan demikian kita bisa melihat bahwa kekuatan politik bisa terdiri dari individu-individu dan lembaga ataupun organisasi-organisasi yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik di dalam suatu sistem politik. Dalam pembahasan mengenai partai politik, maka pokok uraian akan berkisar pada pengertian kelembagaan. Dalam hal ini lembaga-lembaga atau organisasiorganisasi yang ikut serta dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.

Ada beberapa teori yang mengemukakan bagaimana struktur kepartaian dalam suatu sistem politik. Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties membagi kepartaian ke dalam dua struktur, yaitu struktur langsung dan tidak langsung.

Yang dimaksudkan dengan struktur langsung ialah kepartaian yang tersusun atas individu-individu yang telah mengisi formulir keanggotaan, membayar iuran bulanan partai serta menghadiri rapat-rapat cabang partai, yang sedikit banyak, secara teratur.
Anggota-anggota partai itu sendirilah yang membentuk partai, dan keanggotaan partai tidak terbentuk melalui pengelompokan sosial lainnya.

Berbeda dengan struktur langsung, dalam struktur tidak langsung keanggotaan partai terbentuk melalui organisasi-organisasi kepentingan, seperti organisasi buruh, koperasi dan kelompok intelektual, yang bersatu untuk mendirikan suatu organisasi bersama. Dalam pengelompokan ini tidak ada pendukung atau anggota-anggota partai selain anggota-anggota organisasi sosial tersebut.

Dalam struktur tidak langsung ini, keanggotaan partai yang sesungguhnya sangat berbeda dari keanggotaan komponen kelompok sosialnya. Di dalam bentuk ini, seseorang tidak merupakan anggota sesuatu partai melainkan sebagai anggota sesuatu organisasi sosial yang membentuk partai itu. Tetapi pola tidak langsung ini dapat ditandai melalui prinsip bahwa setiap anggota organisasi sosial pembentuk partai akan dianggap sebagai anggota partai jika ia tidak menyatakan yang sebaliknya.

Dalam pengertian kelembagaan, kelompok kepentingan dan kelompok penekan menghimpun sejumlah individu atas dasar kesamaan kepentingan atau isu tertentu. Misalkan mereka diikat oleh kesamaan profesi, minat, keprihatinan atas sebuah masalah, ideologi, suku, agama, wilayah, dan lain sebagainya.

Tujuan mereka berhimpun dalam kelompok kepentingan dan kelompok penekan adalah bagaimana agar mereka bisa mempengaruhi proses pembuatan undang-undang atau pembuatan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan atau tuntutannya. Dengan kalimat lain, mereka berusaha untuk mempengaruhi para wakil rakyat di parlemen, termasuk
kalangan pemerintahan.

Hal lain yang membedakan kelompok kepentingan dan kelompok penekan dibandingkan dengan partai politik adalah masalah keikutsertaan dalam pemilu. Partai politik dibentuk dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Karenanya partai politik ikut dalam pemilu yang merupakan media sirkulasi atau pergantian elite politik secara damai dan berkala.

Kelompok kepentingan dan kelompok penekan dibentuk tidak dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan. Karenanya kelompok kepentingan dan kelompok penekan tidak mengambil bagian sebagai peserta pemilu.

Peranan Partai Politik, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekan

Pembahasan mengenai peranan partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan di dalam sistem politik Indonesia tentunya lebih jelas dengan melihat bagaimana perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam sistem politik itu sendiri. Dalam konteks ini, kita dapat membagi sistem politik Indonesia ke dalam empat periode.

Periode pertama
ialah masa Demokrasi Parlementer yang berlangsung sejak 1945 sampai 1959. Dalam periode ini sebenarnya kita bisa membagi lagi ke dalam dua masa yakni masa revolusi fisik yang berlangsung dari 1945 sampai 1949 dan masa setelah revolusi fisik dari 1950 sampai 1959. Menyinggung periode 1950 sampai 1959, disini kita perlu ingat bahwa periode Demokrasi Parlementer murni tidak berlangsung sampai tahun 1959, melainkan hanya sampai tahun 1957. Memang dalam tahun 1957 – 1959 secara formal kita masih berada dalam demokrasi parlementer, tetapi dalam arti yang informal dan sesungguhnya, pada masa itu sebenarnya kita berada dalam masa peralihan ke Demokrasi Terpimpin.

Periode kedua ialah sejak 1959 sampai 1966 di mana kita berada dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Berikutnya adalah periode Orde Baru dari 1966 sampai 1998 yang dikenal dengan istilah Demokrasi Pancasila. Periode terakhir adalah era Reformasi yang berlangsung semenjak 1998 dimana sistem demokrasi yang coba dibangun berdasarkan pengertian yang sebenarnya.
Di dalam kerangka inilah kita akan menggambarkan dan menguraikan peranan partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan di Indonesia. Pengaitan semacam ini akan memperlihatkan persamaan dan perbedaan dari peranan partai politik dari satu periode ke periode lainnya.

a. Periode Demokrasi Parlementer (1945 – 1959)
Periode ini termasuk pula masa yang disebut Revolusi Fisik (1945 – 1949), yakni perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Secara formal sistem pemerintahan Presidensil yang berlaku, akan tetapi sistem ini begitu singkat berlakunya yaitu dengan adanya perkembangan yang luar biasa dalam sistem pemerintahan.

Awalnya ada kehendak untuk menjadikan Indonesia sebagai suatu negara yang diperintahkan oleh satu partai, yang ketika itu diberi nama Partai Nasional Indonesia (PNI). Akan tetapi hal itu hanya berlangsung singkat, karena pada awal November 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden yang berisi anjuran pada masyarakat untuk mendirikan partai politik.

Berdasarkan maklumat tersebut, maka tumbuhlah berbagai macam partai politik. PNI yang semula merupakan satu-satunya partai politik yang ada, kemudian menjadi hanya salah satu dari sekian banyak partai. Dalam suasana revolusi, ternyata banyaknya partai politik memberikan kemungkinan pada masyarakat untuk menggerakkan lembaga legislatif yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Namun ini tidak berarti bahwa partai politik telah dapat berperan sebagaimana mestinya di dalam badan legislatif. Penyebabnya, antara lain, pertama, keterlibatan seluruh kekuatan masyarakat didalam revolusi, sehingga tidak memungkinkan pemerintah atau KNIP untuk mengorganisir wakil-wakil dari partai politik untuk berfungsi dalam badan legislatif ini. Kedua, dengan adanya revolusi itu, maka pemilihan umum tidak pula dapat berlangsung. Keadaan ini memberikan dampak terhadap KNIP yaitu bahwa lembaga tersebut tidak mencerminkan kekuatan-kekuatan politik yang nyata didalam masyarakat.

Penunjukan wakil-wakil partai untuk duduk dalam KNIP itu semata-mata berdasarkan kepada perkiraan-perkiraan saja sehingga tidak mencerminkan keadaan atau kekuatan partai politik yang sebenarnya. Jadi misalnya ada partai politik yang mempunyai wakil yang sangat banyak didalam KNIP, tetapi kekuatan riil didalam masyarakat kecil sekali. Contohnya adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI) mempunyai wakil yang cukup banyak di KNIP, padahal kemudian hasil Pemilu 1955 menunjukkan jumlah kursi yang diperoleh partai itu dalam DPR kecil sekali.

Sebaliknya yang terjadi dengan NU dimana dalam KNIP ia mempunyai jumlah wakil yang kecil, padahal dalam Pemilu 1955 ia memperoleh kursi yang jumlahnya beberapa kali lipat daripada jumlah kursi di KNIP.

Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa sistem yang revolusioner itu menyebabkan peranan partai politik di dalam KNIP lebih bersifat simbolis. Memang didalam suasana seperti itu tidak ada kemungkinan untuk menjalankan sistem parlementer dengan baik. Akan tetapi disini ada satu esensi yang sangat penting bahwa suasana yang revolusioner yang tadi itu, masih dipenuhi oleh keinginankeinginan dari pada pimpinan nasional untuk menjalankan suatu sistem yang demokratis dan bersifat parlementer. Itu nampak dari adanya keinginan untuk memberikan peranan kepada partai-partai politik untuk menjalankan pemerintahan.

Keinginan ini jelas terlihat atau tercermin dalam peranan partai politik di dalam bidang eksekutif. Dan dalam bidang eksekutif ini, karena kita mendasarkan diri pada sistem parlementer, maka kita membedakan dua istilah; pertama kedudukan kepala negara sebagai presiden, dan kedua sebagai kepala pemerintahan.

Selama masa ini kedudukan kepala negara dijabat oleh presiden dan wakil presiden, dan tidak dipegang oleh salah satu partai politik. Akan tetapi partai politik lebih banyak peranannya didalam pemerintahan. Kepala Pemerintahan dijabat oleh Perdana menteri (PM), yang ketika itu dipegang oleh Syahrir dari PSI. Kemudian hampir semua anggota kabinet di dalam masa revolusi ini terdiri atas para pimpinan partai atau wakil partai politik.

Jadi, partai politik mempunyai peranan yang besar di dalam pemerintahan Indonesia pada masa revolusi. Peranan partai politik yang besar juga ada di luar bidang pemerintahan, dimana partai politik diberikan kebebasan untuk menyuarakan kepentingankepentingannya.

Keadaan ini cukup tercermin di dalam benturan-benturan atau konflik-konflik politik yang terjadi antara satu kekuatan politik dengan kekuatan politik lain atau antara sekelompok partai politik dengan sekelompok partai politik lain. Pada masa revolusi ini, konflik yang paling menonjol adalah antara kelompok Masyumi dan PNI dengan kelompok kiri yang dimotori oleh PKI. Disini terlihat bahwa PKI adakalanya juga bekerjasama dengan partai-partai politik yang lain, dan sering mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa ataupun sering melancarkan gugatan terhadap pemerintah.

Oleh sebab itu sering terjadi bahwa suatu pemerintah bisa dijatuhkan dengan tindakan-tindakan semacam ini. Dengan demikian dalam masa yang sangat singkat ini kita bisa melihat besarnya frekuensi interaksi antara satu partai dengan partai yang lain.

Kemudian di dalam masa berikutnya: tahun 1950-1959 tepatnya sampai dengan tahun 1957, peranan partai politik masih besar. Di sini benih-benih kehadiran kelompok kepentingan dan kelompok penekan mulai tampak, yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok nonpartai dalam Pemilu 1955 atau setidaknya tidak menyebut dirinya sebagai partai politik. Contohnya adalah IPKI, alias Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

Karena kita sudah kembali kedalam suatu masa yang normal dan karena adanya ketetapan hati dari para pemimpin untuk menyelenggarakan sistem parlementer, maka didalam masa ini partai politik mempunyai peranan yang paling besar dalam sejarah Indonesia.

Peranan partai politik yang besar itu melampaui peranan kelompok kepentingan dan kelompok penekan itu sendiri. Peranan partai politik yang besar pada masa itu hanya bisa dibandingkan dengan peranan partai politik di era reformasi (pasca-Mei 1998).

Maka diawal tahun 1950-an yaitu sebelum diadakan pemilu, partai politik juga mendapat peranan yang lebih besar daripada sebelumnya, dalam arti bahwa dengan adanya DPR, maka kedudukan daripada wakil-wakil partai didalam lembaga legislatif itu telah lebih baik bila dibandingkan dengan masa revolusi. Didalam parlemen ini, anggota-anggota DPR yang terdiri atas wakil-wakil partai itu telah bisa menjalankan fungsi mereka sebagai lembaga perwakilan.
Didalam perdebatan-perdebatan parlemen kita bisa melihat bahwa anggota atau wakil-wakil partai itu mempunyai kebebasan luas, dimana mereka dapat menyuarakan pendapat mereka secara utuh. Memang didalam masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an ini parlemen sudah berfungsi; dan peranan partai politik akan lebih terlihat lagi apabila kita kaitkan kedudukan partai politik didalam parlemen dengan di dalam pemerintahan.

Sistem politik Indonesia pada masa parlementer ini memang mencerminkan Demokrasi Parlementer yang bersifat murni, di mana pertukaran-pertukaran gagasan terjadi secara cukup terbuka antara parlemen atau pemerintah. Pemerintah yang dipimpin oleh seseorang tokoh partai dalam masa ini memang harus mempertanggungjawabkan
segala kebijaksanaannya kepada parlemen.

Di dalam forum parlemen inilah, anggotaanggota partai politik yang tidak duduk didalam pemerintahan atau yang sering dikenal dengan istilah oposisi dapat memainkan peranan mereka yang besar, terutama sekali didalam mengawasi tingkah laku pemerintah.

Jadi terlihat dengan jelas bahwa peranan partai politik besar sekali di dalam parlemen, disamping besar juga di dalam kabinet. Peranan partai politik yang demikian besar berlangsung sampai dengan akhir 1956. Peranan partai politik disini dikukuhkan oleh pemilu yang diadakan pada tahun 1955 dimana partai politik yang ikut bersaing berjumlah hampir 30 buah.

Dari jumlah itu, hanya empat partai politik yang keluar sebagai pemilik suara/kursi terbanyak didalam parlemen (lihat tabel).

Tabel Hasil Pemilu 1955
Nama Partai Jml Suara Persentase Kursi Parlemen
PNI 8.434.653 22,3% 57
Masyumi 7.903.886 20,9% 56
NU 6.955.141 18,4% 45
PKI 6.176.913 16,4% 39
Lain-lain 8.314.705 22,0% 59

Total 37.785.298 100% 257

Dari hasil Pemilihan Umum 1955 itu, peranan masing-masing partai politik didalam parlemen dikukuhkan, walau terjadi pergeseran posisi masing-masing partai. Partai yang semula dianggap partai besar seperti PSI, ternyata kekuatan riilnya didalam masyarakat kecil. Sebaliknya NU yang di KNIP memperoleh kursi sedikit, hasil Pemilu 1955 itu justru menunjukkan sebagai partai besar.

Juga didalam pemerintahan, partai politik mengukuhkan diri sebagai kekuatan yang menentukan. Akan tetapi sistem ini tidak bisa berlangsung lama, sebab konflik politik menjadi besar setelah pemilihan umum lantaran pemilihan umum itu sendiri tidak menghasilkan partai mayoritas.

Keempat partai politik besar yang dihasilkan oleh pemilihan umum itu tidak pernah dapat bekerjasama, sehingga terjadilah konflik yang tidak dapat dihindarkan diantara partai-partai itu. Konflik tersebut memuncak
pada tahun 1956, didalam Dewan Konstituante yang sedang merumuskan UUD yang tetap buat Indonesia. Disini terjadi benturan yang fatal antara beberapa partai politik.

Konflik antara kekuatan politik ini mengancam stabilitas negara, sehingga pada akhirnya Angkatan Darat menghentikan kegiatan-kegiatan Dewan Konstituante.

Setelah itu terjadilah kemerosotan peranan partai politik di Indonesia.
Di dalam tahun-tahun antara 1957-1959 partai-partai politik yang banyak jumlahnya itu masih mempunyai eksistensi, tetapi peranan mereka dibatasi didalam parlemen.

Karena periode 1957-1959 ini merupakan suatu masa transisi dari sistem
parlementer ke Demokrasi Terpimpin maka pemerintahan sudah mulai pula dimasuki oleh kekuatan-kekuatan politik nonpartai. Perwujudannya adalah adanya menteri menteri yang tidak berasal dari partai politik.

Didalam tahun 1957 untuk pertama kalinya seorang nonpartai menjadi PM, yaitu Ir. Djuanda. Ini merupakan titik awal daripada merosotnya peranan partai politik di Indonesia. Kemudian di dalam tahun 1957 ini pula kita melihat peningkatan pengaruh dan peranan angkatan Darat di dalam politik, yaitu melalui SOB (Keadaan Darurat Perang) di mana posisi kekuasaan Angkatan Darat menjadi lebih besar terutama di daerah-daerah.

Peralihan ke Demokrasi Terpimpin juga disebabkan oleh pertarungan sengit di parlemen, yakni antara para pendukung Pancasila dan pendukung Islam sebagai dasar negara. Polemik itu berujung pada macetnya pembicaraan soal dasar negara ini di Dewan Konstituante sampai dengan tanggal 2 Juni 1959.

Kemacetan inilah yang menjadi faktor pemicu Soekarno untuk melakukan intervensi politik dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inti dari isi dekrit tersebut adalah memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan Dewan Konstituante.

Ciri utama yang bisa dilihat di era Demokrasi Parlementer ini adalah kegiatan partisipasi politik berjalan dengan intensitas tinggi, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai primodialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun di sisi lain ditandai oleh tersentralisasinya kekuasaan di tangan elit-elit partai politik, dan di pihak lain masyarakat justru berada dalam keadaan teralienasi dari proses politik.

Dalam keadaan demikian, Presiden Soekarno yang amat tidak menyukai distribusi kekuasaan yang menempatkannya sebagai Presiden simbolik merupakan pihak yang merasa dirugikan. Militer pun berada dalam posisi lebih kurang sama dengan Soekarno.


Akhirnya, masa ini mengalami kehancuran setelah mengalami perpecahan antarelite dan antarpartai politik di satu sisi; serta di sisi lain akibat adanya sikap Soekarno dan militer yang menentang model demokrasi yang dijalankan. Perpecahan antarelit partai tersebut disebabkan oleh dua hal. Yakni terakumulasinya rasa permusuhan selama sekian lama telah menyebabkan memuncaknya permusuhan itu hingga berada di atas titik toleransi; dan merebaknya frustasi terhadap kesulitan ekonomi dan mulai mengaburnya harapan-harapan revolusi.

Pertentangan antar elit partai tersebut kemudian merebak menjadi pertentangan politik yang bersifat luas. Sebabnya adalah adanya kecenderungan partai untuk memperluas dukungan dengan memanfaatkan kesetiaan primodial dalam masyarakat. Sehingga dukungan terhadap partaipun meluas pula menjadi bersifat kedaerahan dan golongan.


Perpecahaan yang akut antarpartai politik yang diperparah oleh konflik
tersembunyi antar kekuatan partai dengan Soekarno dan militer, serta adanya ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional, telah membuat periode revolusi dan demokrasi parlementer ditandai oleh krisis integrasi dan stabilitas yang parah.

Salah satu pergolakan itu adalah munculnya Gerakan Darul Islam (DI/TII) sebagai gerakan politik yang terpenting dan menimbulkan masalah serius bagi pemerintah pusat pada dekade 1950-an. Gerakan ini bermula di Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1949 dengan diproklamirkannya Negara Islam Indonesia, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, serta mempengaruhi beberapa gerakan di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Halmahera.

Dari sejumlah daerah yang disebut di atas itu, tiga daerah yang terbesar pengaruhnya yakni di Jawa Barat dengan pemimpinnya Kartosuwirjo, Daud Beureueh di Aceh, dan Sulawesi Selatan yang dikomandani Kahar Muzakkar. Gerakan ini telah ikut memberikan peluang bagi Soekarno dan militer untuk membuka pintu baru bagi perkembangan politik di tanah air.


Setelah sukses dengan sosialisasi Konsepsi Presiden Soekarno 1957, realisasi nasionalisasi ekonomi, dan diterapkannya UU Darurat, maka pintu ke arah Demokrasi Terpimpin yang diidam-idamkan Soekarno pun terbuka lebar. Dan hal itu mencapai klimaksnya dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengantarkan Indonesia ke periode Demokrasi Terpimpin. Walhasil, dengan dekrit yang didukung oleh kalangan militer itu, Indonesia memasuki babak baru.

b. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Menurut penjelasan resmi pemerintah Soekarno, Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi murni yang berdasarkan suatu ideologi yang memimpin dengan menentukan tujuan serta cara mencapainya. Demokrasi Terpimpin Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh ideologi negara yaitu Pancasila dan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk mufakat diantara semua golongan progresif.

Walaupun resminya demikian, namun pada tahap implementasinya Soekarno justru bertindak di luar koridor demokrasi. Pada era ini dilakukan pemangkasan partai politik dari semula 24 buah menjadi hanya 10. Partai politik yang mendukung Demokrasi Terpimpin, seperti PNI, PKI, NU, PSII, dan Perti, diizinkan tetap eksis. Mereka tampil sebagai wakil nasionalis, agama, dan komunis dalam Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis), sebuah jargon politik Soekarno dalam rangka menciptakan persatuan bangsa.


Demokrasi Terpimpin merupakan suatu sistem politik yang bertolah belakang dengan sistem parlementer. Di dalam Demokrasi Terpimpin ini, pemerintahan menganut sistem presidensil, dimana Presiden tidak saja merupakan kepala negara tetapi juga kepala pemerintahan. Ini berarti bahwa semua kebijaksanaan pemerintahan dikendalikan oleh presiden.

Dalam sistem ini juga, eksekutif tidak lagi bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada presiden. Parlemen dianggap sebagai suatu badan yang menjadi pendamping eksekutif. Walaupun parlemen masih mempunyai beberapa hak kontrol, sehingga badan ini masih dapat mengawasi jalannya pemerintahan, tetapi kekuasaannya dalam sistem Demokrasi Terpimpin jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan era parlementer.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal itu terjadi adalah tidak adanya pembatasan yang tegas antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam membuat UU. Dalam hal ini badan eksekutif diberi kemungkinan untuk membuat UU. Dalam salah satu pasal UUD 1945 dikatakan bahwa Presiden atau Pemerintah dapat mengajukan RUU pada parlemen dan pemerintah dapat mengajukan dan atau membuat peraturan pemerintah
pengganti UU.

Disini terlihat bahwa ada kekuasaan legislatif yang dijalankan oleh eksekutif. Dengan demikian, apabila sistem Demokrasi Terpimpin berjalan secara murni dan konsekuen, dalam arti mengikuti garis-garis yang tersurat dalam UUD 1945, kita dapat mengatakan bahwa peranan partai politik tetap kecil.

Sebagian besar peranan partai politik dalam masa Demokrasi Terpimpin ini diletakkan di dalam parlemen, padahal parlemen tidak memiliki kekuasaan sebesar kekuasaannya dalam sistem parlementer.

Faktor lain yang ikut memperkecil pengaruh partai politik ialah
diberlakukannya penetapan Presiden (Penpres) No. 7/1959 tentang syarat-syarat penyederhanaan partai politik. Peraturan tersebut mensyaratkan bahwa partai politik yang dapat diakui pemerintah harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan. Dengan demikian sejumlah besar partai politik, yang sebelumnya banyak berperan dalam kehidupan politik Indonesia, terutama partai-partai kecil, tidak mendapat pengakuan pemerintah.

Jumlah partai politik pun merosot tajam; dari sekitar 30 di masa parlementer menurun hingga sekitar 10 di masa Demokrasi Terpimpin. Sementara itu dua partai penting di zaman parlementer, PSI dan Masyumi, dibubarkan. Ada dua versi mengenai pembubaran partai-partai tersebut, yakni pertama menyebutkan bahwa beberapa tokoh kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI pada tahun 1958. Versi lainnya mengungkapkan adanya perbedaan pandangan antara Presiden Soekarno di satu pihak dan PSI serta Masyumi di lain pihak dalam soal Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 1960.

Masyumi yang secara bulat menolak APBN yang diajukan pemerintah. Ketika itu partai-partai politik didalam parlemen mengatakan APBN yang diajukan pemerintah akan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Oleh sebab itu PSI dan Masyumi dibubarkan Soekarno. Besarnya kekuasaan presiden secara sistematis ikut memperkecil peranan partai politik. Para tokoh partai politik yang menentang kebijaksanaan presiden dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.

Kasus seperti ini banyak terjadi dimasa itu. Sebagai akibatnya berkuranglah keberanian para tokoh tokoh partai lainnya utuk mengutarakan pendapat yang bertentangan dengan kehendak Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga membubarkan DPRS pada bulan Maret 1960. Ini juga berkaitan erat dengan penolakan partai-partai di dalam parlemen terhadap usul APBN yang diajukan pemerintah. Tiga bulan kemudian, Juni 1960, Soekarno membentuk parlemen baru yang disebut DPR-GR (Gotong Royong) disamping itu ia juga membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam bulan November. Kedua lembaga ini, oleh Soekarno, dianggap cocok untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin.


Dalam DPR-GR ini pun sebenarnya terjadi penciutan peranan partai politik, sebab kedalamnya juga dimasukkan anggota-anggota parlemen yang tidak berasal dari partai politik. Peranan partai politik di dalam pemerintahan jauh lebih merosot lagi bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kemerosotan ini tidak dalam arti jumlah anggota kabinet yang berasal dari partai politik berkurang, karena kalau dilihat dari segi jumlah memang banyak sekali anggota partai politik yang duduk di pemerintahan, melainkan dalam arti kualitatif.

Dalam hal ini peranan yang mungkin dimainkan oleh partai politik dalam pemerintahan berkurang karena sistem Demokrasi Terpimpin menghendaki adanya suatu pimpinan yang kuat di bawah Presiden. Semua ini mengakibatkan segala arahan atau kebijaksanaan pemerintah
ditentukan oleh Presiden.

Pergulatan politik juga berlangsung didalam segitiga politik antara Soekarno sebagai pengimbang, militer di kanan dan PKI di kiri. PKI merupakan satu-satunya partai politik yang dapat memainkan peranan waktu itu. Di tengah-tengah merosotnya atau dikuranginya peranan partai politik lainnya, PKI justru memperoleh atau diberikan peranan yang besar. Perannya malah dapat dikatakan tidak sebanding dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum 1955. Ada yang mengatakan bahwa luasnya peranan PKI ini disebabkan partai tersebut bisa menyesuaikan diri dengan gagasan-gagasan Soekarno.

Didalam masa Demokrasi Terpimpin boleh dikatakan bahwa PKI, yang tadinya merupakan partai terkecil diantara empat partai besar pemenang pemilu 1955, menjadi satu partai terbesar dalam masa ini. Yang dimaksudkan dengan terbesar disini adalah dalam arti bahwa ia
mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden.

Militer, terutama angkatan Darat, juga menjadi kekuatan politik efektif pada masa Demokrasi Terpimpin. Peranan politik militer mulai tampak sejak tahun 1957, ketika Soekarno memberlakukan keadaan darurat perang di Indonesia sehubungan dengan terjadinya pemberontakan di daerah-daerah. Berdasarkan UU keadaan darurat inilah elemen-elemen Angkatan Darat dapat ikut menentukan keputusan-keputusan politik. Banyak perwira Angkatan Darat duduk dalam Dewan Nasional. Lembaga ini bertanggungjawab dalam mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah pada masa itu dan dipimpin oleh Presiden Soekarno.

Pada masa ini, pergulatan politik yang paling menyolok adalah persaingan antara Angkatan Darat dan PKI. Keduanya saling bersaing untuk merebut posisi penting pemerintahan, dan terutama memperebutkan pengaruh terhadap Presiden. Persaingan itu terlihat antara lain pada adanya gagasan perwakilan golongan fungsional dalam DPR-GR dan MPRS sebagaimana diusulkan Presiden Soekarno.

Usul Soekarno itu mendapat tanggapan positif dari kalangan Angkatan darat, tapi ditolak oleh PKI. Lalu juga dalam hal gagasan Soekarno mengenai pembentukan “Angkatan Ke-Lima” yang ditolak oleh Angkatan Darat, tapi didukung oleh PKI. Selama masa ini, memang, hanya militerlah yang paling mampu menangkal setiap serangan-serangan PKI, baik secara politis maupun fisik. Sementara itu, bagi PKI, Presiden Soekarno secara sadar ataupun tidak, berada didalam pengaruhnya.Disamping juga Presiden Soekarno menganggap militansi anggota-anggota PKI dapat mewujudkan gagasan-gagasan revolusionernya.

Adapun peranan dari kelompok kepentingan dan kelompok penekan di era ini nyaris tidak menunjukkan hal yang berarti di tengah-tengah dominasi Presiden Soekarno, berikut pertarungan antara PKI dengan militer. Walau demikian masa ini dapat dikatakan sebagai periode embrional bagi penguatan peran kelompok kepentingan dan kelompok penekan.

Mereka pada akhirnya akan menjadi salah satu penentu dalam sistem politik Indonesia, terutama ketika proses kelahiran Golkar terjadi di penghujung masa Demokrasi Terpimpin ini.

Pada tahun-tahun antara 1962 sampai 1965, Presiden Soekarno semakin menggiatkan gagasan politik “mercusuar”nya, baik didalam maupun diluar negeri. Secara politis, memang, posisi diplomasi Indonesia begitu menonjol di dunia Internasional. Begitulah Presiden Soekarno giat dalam mengecam negara-negara Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dan merangsang pergerakan nasionalisme di benua Asia dan Afrika untuk menentang setiap bentuk penjajahan.

Kemudian dia juga menghimpun negara-negara baru di Asia dan Afrika untuk membentuk suatu kekuatan dunia baru. Indonesia ketika itu mulai dengan mengadakan pesta olahraga Internasional bagi negara-negara baru merdeka, yang dinamakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Kegiatan ini sebenarnya masih suatu awal dari langkah berikutnya yaitu penyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo), yang akan menjadi tandingan PBB. Soekarno tidak suka pada PBB, sebab dalam pandangannya badan dunia itu telah dikuasai oleh kelompok negara Nekolim. Conefo tidak pernah terwujud karena persoalan dalam negeri terus mendesak, antara lain karena kemerosotan ekonomi Indonesia sudah mencapai puncaknya.

Inflasi berkisar rata-rata 230 persen pertahun. Persediaan bahan pokok kebutuhan rakyat, seperti beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain jauh dari mencukupi, sehingga bahan-bahan tersebut sangat sulit diperoleh. Kesulitan ekonomi ini masih ditambah lagi dengan politik konfrontasi dengan Malaysia, yang mengharuskan pemerintah membiayai kegiatan operasi-operasi penyusupan dan pengerahan pasukan ke daerah perbatasan. Situasi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk melatih anggota-anggotanya di dalam kegiatan sukarelawan Indonesia.

Melalui kegiatan ini PKI mempersiapkan anggota-anggotanya secara militer untuk mengadakan kudeta berdarah pada tanggal 30 September 1965. Kudeta tersebut, atau apa yang dikenal dengan nama “G-30-S/PKI” dapat dipatahkan oleh militer bersamasama kekuatan anti komunis lainnya. Periode Demokrasi Terpimpin diakhiri setelah peristiwa itu, dan militer serta kekuatan-kekuatan anti-komunis kemudian melahirkan Orde Baru.

Siswa Sekolah