Datanglah kepada Rakyat, Belajar Bersama Rakyat, Hidup Bersama Rakyat
, Mulailah dari apa yang diketahui dan dimiliki Rakyat



Tentang Sekolah Politik Kerakyatan


LATAR BELAKANG :


Dua di antara masalah dasar terkait dengan persoalan sosio-politik Indonesia kontemporer adalah lemahnya kepemimpinan dan miskinnya inisiatif.

Distribusi sumberdaya masih senjang, tatanan politik masih belum kukuh, dan belum kunjung pasti tentang kapan harapan kesejahteraan akan terwujud.

Meskipun abad baru telah lahir, generasi berkarakter kerdil masih menjadi aktor-aktor utama dalam perjalanan Indonesia.

Melahirkan pemimpin berkarakter kerakyatan kuat menjadi suatu tantangan bersama. Suatu tantangan yang mesti diupayakan untuk diwujudkan melalui suatu kerja strategis, dan bukan semata ditunggu kedatangannya sebagai ‘ratu adil’.

TUJUAN :

Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR hadir sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat daya hidup bangsa, yang perlu untuk selalu dibarukan. Mengingat masalah kebangsaan Indonesia selalu menuntut kesiapan untuk menghadapi tantangan, pendidikan politik dalam hal ini diarahkan pula untuk menumbuh-kembangkan inisiatif-inisiatif baru.

VISI :

Mengembangkan pendidikan politik kerakyatan berbasis nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan untuk menumbuhkan karakter kepemimpinan politik yang penuh inisiatif dan berwawasan kesejahteraan sosial serta kemandirian Bangsa.

MISI :

Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR dimaksudkan sebagai bagian dari alternatif pemecahan persoalan kepemimpinan politik dengan program-program yang disusun & diarahkan untuk dapat menjawab tantangan kepemimpinan masa datang. Program pendidikan dan pelatihan dirancang sebagai suatu media pembelajaran yang tidak hanya memberi pengetahuan teoretis, melainkan dilengkapi juga dengan keterampilan-keterampilan praktis dalam berpolitik.

Membangun kerjasama dengan berbagai kalangan, baik pelaku politik, lembaga non-pemerintah, pers, maupun pihak-pihak lain sebagai sarana penguatan jaringan dan penyebarluasan informasi guna memperluas wawasan politik dan menumbuhkan semangat kebersamaan bangsa secara keseluruhan.

BENTUK KEGIATAN BELAJAR :

Setiap Angkatan, waktu belajar dialokasikan selama 6 (enam) bulan dengan bentuk & jenis kegiatan belajar :

1. Kuliah dan diskusi di kelas Setiap hari Sabtu jam 14.00 wib s/d selesai
2. Pelatihan khusus terpadu untuk pengembangan ketrampilan politik dan Aplikasi Lapangan (program aksi) serta Pendalaman Materi sebanyak tiga kali setiap angkatan.
3. Stadium General dengan Tokoh-Tokoh Politik, Masyarakat & Agama secara isendental
4. Outbond training untuk Team Building dan Study Orientasi Kerakyatan, 1 kali setiap angkatan di awal periode belajar.
5. Aplikasi lapangan (program aksi) dengan terjun langsung ke tengah rakyat untuk melatih ketrampilan Advokasi / Bimbingan / Pendidikan / Penyuluhan Rakyat 2 malam 3 hari.
6. Dialog & Diskusi Interaktif bulanan

PROGRAM

Pendidikan dan Pelatihan
Mengadakan pendidikan politik bagi kalangan mahasiswa berpotensi untuk mengembangkan keterampilan politik dan karakter kepemimpinan.

Mengembangkan wawasan dan kemampuan politik praktis melalui praktik kerja politik magang politik.

Mengadakan diskusi, seminar, dan pelatihan sebagai bagian dari kajian yang diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pemecahan persoalan sosio-politik.

Mengembangkan kerjasama dengan kekuatan-kekuatan civil society di Indonesia untuk membangun kesadaran politik dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi.

Penyebarluasan Informasi
Mengembangkan jaringan informasi sosio-politik dengan berbagai kalangan pemerhati maupun pelaku politik.

Mengembangkan kerjasama dengan media massa untuk mengembangkan isu-isu demokrasi.

Menerbitikan suatu buletin hasil kajian Sekolah Politik Kerakyatan tentang isu-isu sosial dan politik.

Mengadakan perpustakaan politik Indonesia yang dapat diakses umum.



Siswa Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR saat Outbond di Sukabumi, Jawa Barat

Rabu, 27 Februari 2008

Materi sekolah 2

PARTAI POLITIK, KELOMPOK KEPENTINGAN, DAN KELOMPOK PENEKAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA II

Periode Demokrasi Pancasila (1966 - 1998)

Kondisi partai politik dan juga kelompok kepentingan dan kelompok penekan- pada masa Demokrasi Pancasila dibandingkan dengan masa parlementer dapat dikatakan menurun. Menurun disini dalam arti kuantitas maupun kualitasnya.


Secara kuantitas jumlah anggota partai politik yang duduk dalam lembaga legislative sangat kecil, dan secara kualitas pengaruhnya dalam pengambilan keputusan politik tidak menentukan lagi. Meskipun demikian tidak berarti bahwa tidak ada anggota anggota partai yang duduk dalam lembaga-lembaga pemerintahan.


Pada masa awal Orde Baru, terdapat beberapa pimpinan partai politik yang menduduki jabatan menteri. Kalau melihat komposisi pada Kabinet Pembangunan I dan II, beberapa menteri dijabat oleh pimpinan partai politik yang berasal dari PNI, NU, Parmusi, Parkindo dan Partai Katolik. Namun setelah dua masa jabatan cabinet berlalu, tidak ada lagi orang partai politik di dalam kabinet.


Sementara itu jumlah anggota DPR dalam masa Demokrasi Pancasila yang berasal dari partai politik juga mencapai kedudukan minoritas. Setidaknya ada tiga penyebab menurunnnya pengaruh partai politik dalam masa Demokrasi Pancasila: Pertama, digunakannya UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan sistem politik Indonesia. Sebagaimana dikatakan di muka, UUD 1945 menganut sistem presidensil sehingga memperkuat posisi presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Sebaliknya sistem itu melemahkan kedudukan partai politik di parlemen. Kedua, pelaksanaan pembangunan ekonomi yang menyeluruh di segala bidang. Pelaksanaan pembangunan ekonomi ini belum pernah dilaksanakan oleh pemerintah di masa lalu.


Tetapi pembangunan ekonomi yang menyeluruh memerlukan prasyarat bahwa situasi politik harus stabil. Pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa program-program pembangunan ekonomi yang dirancang oleh pemerintah yang berkuasa tidak dapat berjalan atau direalisir sebagai akibat terganggunya stabilitas politik. Telah dibicarakan sebelumnya bahwa partai-partai oposisi pada masa lalu lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengecam dan menjatuhkan pemerintah, sehingga lebih banyak waktu diperlukan untuk membentuk pemerintah koalisi baru daripada melaksanakan pembangunan ekonomi. Disamping ia menimbulkan dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan. Berdasarkan pengalaman inilah pemerintah Orde Baru mengutamakan stabilitas politik Sebagai landasan bagi pembangunan ekonominya.


Ketiga, diterapkannya sistem massa mengambang (floating mass) pada masa Demokrasi Pancasila. Undang Undang No. 3/1975 menyebutkan bahwa partai politik tidak diizinkan melakukan kegiatan sampai tingkat desa. Partai politik hanya diperkenankan melakukan kegiatannya sampai di tingkat Kabupaten atau daerah Tingkat II. Sistem yang demikian tidak memungkinkan partai politik untuk melakukan kegiatan politik di tingkat pedesaan, tempat di mana partai politik massa yang paling besar. Dengan demikian partai politik kehilangan pengaruhnya di tengah rakyat pedesaan.


Sementara penyerapan pengaruh ke dalam kelompok kelas menengah di perkotaan telah dibatasi beberapa tahun sebelumnya, yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/1970. Peraturan ini dikeluarkan menjelang pemilihan umum tahun 1971. Sebagai konsekuensi dengan adanya peraturan ini ialah bahwa pegawai negeri tidak boleh memasuki partai politik. Pada mulanya semua pegawai Departemen Dalam Negeri didorong untuk menjadi anggota Korps Karyawan Departemen dalam Negeri (KOKARMENDAGRI). Nama organisasi ini kemudian diubah pada tahun 1971 menjadi KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia). Anggota-anggotanya tidak lagi hanya pegawai Departemen Dalam Negeri saja, melainkan juga pegawai negeri lain dan perusahaan-perusahaan swasta.


Peraturan-peraturan yang diberlakukan itu merupakan “pil pahit” bagi partai politik, terutama bagi PNI. Sebelum berfusi ke dalam PDI, PNI menjelang Pemilihan Umum 1955 telah membina hubungan yang erat dengan pegawai negeri.


Bahkan dapat dikatakan bahwa PNI telah banyak memasukkan anggota-anggotanya di departemen-departemen, terutama Departemen Dalam Negeri. Dengan masuknya pegawai negeri ke dalam KORPRI maka sumber dukungan utama bagi PNI menjadi hilang. Partai lainnya, seperti NU, juga kehilangan dukungan dari pegawai negeri, terutama Departemen Agama. Namun karena dukungan utama bagi NU bersumber dari kalangan Pesantren, maka KORPRI tidak menimbulkan kesulitan yang berarti. Ini nampak dari hasil Pemilihan Umum 1971 dimana NU masih dapat menempatkan 58 anggotanya dalam DPR, sedangkan PNI hanya mampu meraih 20 kursi di DPR.


Meningkatnya peranan Golkar juga melemahkan pengaruh partai politik di dalam sistem politik. Dalam sistem Demokrasi Pancasila, Golkar telah menjadi partai mayoritas dalam pemilu-pemilu yang dilaksanakan Orde Baru, yaitu 1971, 1977,1982, 1987, 1992, dan terakhir 1997. Dilihat dari sejarahnya, Golkar merupakan gabungan kelompok-kelompok fungsional dan profesional yang tidak mempunyai kaitan organisasi ataupun ideologis dengan partai politik.


Kelompok-kelompok buruh, karyawan, petani, sarjana yang independen ini mulai muncul di masa Demokrasi Terpimpin, ketika Soekarno menerapkan sistem perwakilan fungsional. Mereka kemudian bersama-sama dengan kelompok fungsional yang didukung ABRI menggabungkan diri membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEKBER Golkar), yang kemudian dikenal dengan nama Golkar, ditahun 1964.


Sejalan dengan meningkatnya peranan militer dalam sistem Demokrasi Pancasila, Golkar pun memantapkan peranannya dalam sistem politik. Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya dalam pemilihan umum mendukung pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru. Bisalah kita katakan disini bahwa Golkar merupakan partai yang berkuasa dalam pemerintahan. Meskipun Golkar sendiri tidak pernah menyatakan diri sebagai partai politik, tetapi fungsi dan peranan yang dilakukannya adalah fungsi dan peranan partai politik.


Barangkali disebabkan istilah partai politik mempunyai konotasi negatif dimana partai politik dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan ketidakstabilan politik di Indonesia. Sedangkan sebutan Golongan Karya mengandung arti yang positif: kelompok yang secara profesional berkarya untuk mengabdikan diri bagi masyarakat, dan tidak mempunyai keinginan memecah belah masyarakat. Akan tetapi fungsi dan peranan Golkar tidak dapat dibedakan dari fungsi dan peranan partai politik pada umumnya. Sesuai dengan itu maka Golkar merupakan semacam partai politik yang mempunyai pengaruh kuat dalam proses pengambilan keputusan politik di Indonesia, sebab sebagian besar keputusan politik yang dibuat dirumuskan oleh Golkar. Sehingga kelompok mayoritas di DPR tentu saja peranannya dapat mendukung lahirnya keputusan-keputusan atau Undang Undang yang diusulkan oleh pemerintah.


Konflik-konflik yang berlangsung didalam tubuh partai politik sejak masa Demokrasi Pancasila dimulai, juga merupakan penyebab lain dari memudarnya peranan dan pengaruh partai politik. Dua partai politik yang dikenal di era Orde Baru, merupakan fusi dari sembilan partai politik yang ada pada masa awal Demokrasi Pancasila. PPP merupakan fusi dari empat partai politik Islam: NU,Parmusi, PSII dan PERTI; sedangkan PDI adalah fusi dari lima partai politik yang berbeda ideologi: PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Akan tetapi fusi tersebut bukanlah diprakarsai oleh masing-masing partai, melainkan oleh Pemerintah.Tidak heran kerap terjadi konflik didalam kedua partai tersebut lantaran masing-masing unsur berusaha mempertahankan kepentingannya. Ini terjadi di awal awal tahun permulaan fusi partai tersebut. Dalam tubuh PPP, meskipun masing masing unsur memiliki ideologi Islam tetapi mereka memegang aliran yang berbeda, terutama dua unsur kuat dalam PPP yakni NU dan Parmusi. NU dikenal sebagai partai Islam tradisional berpengaruh di pulau Jawa, dan Parmusi adalah partai Islam modernis yang berpengaruh besar dikalangan cendekiawan muslim terutama di Sumatera.


Konflik yang terjadi seringkali berlarut-larut sedemikian rupa sehingga pemerintah ikut campur tangan untuk menyelesaikannya. Faktor utama yang menyebabkan konflik itu terus berkembang adalah persoalan kepemimpinan partai. Konflik dalam PDI juga sangat menonjol dalam tahun-tahun permulaan fusi. Persoalan yang paling tajam di dalam konflik PDI ketika itu adalah masalah kepemimpinan partai diantara para anggota PNI, unsur terbesar dalam PDI. Persoalan ini kemudian melibatkan semua unsur yang tergabung dalam PDI. Persoalan memangakhirnya diakhiri walau bersifat sementara dan itupun dengan ikut campurnya pemerintah.


Apa yang dapat dipelajari dari konflik dalam partai ini ialah kurangnya rasa percaya diri dari pimpinan partai, dan semua konflik internal hanya dapat diakhiri dengan campur tangan pemerintah. Masing-masing kelompok yang berkonflik juga selalu meminta pengakuan pemerintah atas kepemimpinannya. Oleh sebab itu, simpati rakyat terhadap partai politik pun ikut merosot.


Dengan penggambaran umum seperti terpaparkan di atas, walhasil dalam konteks kontrol politik penguasa terhadap masyarakat- relatif tak dijumpai perbedaan signifikan antara pemerintahan Soeharto dengan pendahulunya, Soekarno. Warisan sistem politik -mengutip ungkapan Mochtar Pabottingi- yang berformat darurat produk Orde Lama itu dilanjutkan secara sistematis oleh Soeharto. Sebagai sebuah contoh, yakni kebijakannya dalam mengelola sistem kepartaian yang memperlihatkan corak otoritarianisme, dimana Pemerintah Orde Baru memperlakukan secara diskriminatif antara Golkar dan dua partai lainnya (PPP dan PDI).


Format kepartaian demikian diambil dengan alasan untuk menegakkan stabilitas politik sebagai prakondisi bagi pembangunan nasional. Inilah yang menjelaskan mengapa kehidupanpartai politik di Indonesia era Orde Baru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari cara pandang demikian kemudian lahir sebuah kondisi paradoks: Strong state weak society, yang maknanya adalah masyarakat yang lemah secara politis yang dikendalikan secara hegemonik oleh kekuatan negara.


Fenomena strong state weak society disepanjang kekuasaan Orde Baru ini terjadi melalui akumulasi dari sejumlah kebijakan berikut: Pertama, dihambatnya kebangkitan partai-partai politik yang pernah eksis dan berpengaruh pada masa sebelum Orde Baru. Contoh kasusnya adalah pemerintah mengiintervensi kongres PNI yang berideologi nasionalis sekuler pada bulan April 1966 di Bandung dengan menyingkirkan tokoh-tokoh sayap kiri dan radikal. Di sisi lain, pemerintah mengakomodir tokoh-tokoh sayap kanan dan bersikap moderat dengan penguasa.


Intervensi serupa diulang kembali pada kongres PNI tahun 1970. Hal serupa dialami oleh Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang berdiri pada tahun 1968. Parmusi, yang berideologi Islam, semula sebagian besar pengurusnya merupakan tokoh-tokoh Masyumi. Faktor nama besar Masyumi itulah yang membuat penguasa menolak dikarenakan ketakutan terhadap menguatnya kembali ideologi Islam. Namun setelah adanya konsensus, yakni berupa pembersihan Parmusi dari unsur-unsur Masyumi, pemerintah akhirnya berkenan mensahkan kepengurusannya.


Kedua, kebijakan fusi partai politik, yakni beleid penyederhanaan jumlah partai politik sebagai upaya untuk meredam konflik politik serta menjaga stabilitas pembangunan. Dua faktor utama, yakni kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 dan dukungan militer, membuat pemerintah mendesain fusi berdasarkan kedekatan ideologi masing-masing.


Kebijakan ini tertuang lewat UU No 3 tahun 1973, yang pada 5 Januari 1973 direalisir dengan dibentuknya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai kelompok spiritual-material yang merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Sedangkan pada 10 Januari 1973 terbentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dikategorikan sebagai kelompok material-spiritual yang merupakan fusi dari PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Kebijakan fusi ini dapat dikatakan sebagai entry point bagi proses marjinalisasi atas partai politik yang menjadi cetak biru politik Orde Baru. Selanjutnya, dimulailah cengkraman politik penguasa Orde Baru yang contohnya antara lain dalam bentuk intervensi ke tubuh partai politik. Dalam praktiknya tidak jarang kasus-kasus campur tangan birokrasi di dalam kehidupan internal partai politik justru terjadi karena diundang oleh kalangan partai. Dalam kaitan ini Arbi Sanit misalnya melihat birokrasi berkepentingan memelihara konflik dan kemelut partai, bukan saja untuk melihat secara jelas siapa lawan dan siapa kawan melainkan juga agar pengendalian atas partai lebih mudah dilakukan.


Ketiga, melaksanakan pemilu dengan tujuan utama mempertahankan status quo. Sekalipun pada dasarnya pemilu mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai wahana untuk menyalurkan kedaulatan rakyat, sebagai mekanisme untuk memberikan keabsahan pada pemerintah, serta sebagai cara untuk mendapatkan pergantian pemerintahan secara teratur, namun pemilu-pemilu Orde Baru belum sepenuhnya merefleksikan ketiga fungsi elementer tersebut. Dalam konteks mempertahankan status quo Pemerintahan Orde Baru, Golkar dimunculkan sebagai mesin politik penguasa.


Ada beberapa faktor yang menopang kemenangan demi kemenangan yang diraup Golkar sepanjang pelaksanaan pemilu-pemilu Orde Baru. Pertama, ketentuan tentang massa mengambang yang melarang partai politik untuk melakukan kampanye di bawah level kabupaten. Kebijakan ini sangat menguntungkan Golkar, yang leluasa berkampanye sampai kepedesaan. Kedua, ada sejumlah peraturan yang mempersempit kemungkinan bagi PPP dan PDI untuk mengurangi dominasi Golkar di DPR, apalagi untuk memenangkan pemilu. Beleid itu antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1969 yang melarang pegawai negeri menjadi anggota partai dan memberikan loyalitasnya hanya pada negara. Langkah ini diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1970 yang menuntut loyalitas tunggal pegawai negeri hanya pada pemerintah.


Pengebirian aspirasi politik pegawai negeri semakin lengkap dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 82/1971 yang menetapkan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI) sebagai wadah tunggal bagi pegawai negeri. Ternyata langkah ini terbukti efektif sebagai mesin politik kemenangan Golkar di setiap pemilu. Dengan desain politik yang memberi peluang besar bagi Golkar maka tak mengherankan jika ia selalu mampu meraup suara signifikan dalam setiap pemilu Orde Baru.


Keempat, indoktrinasi ideologi Pancasila yakni dengan menjadikannya sebagai ideologi negara dan selanjutnya sebagai ideologi masyarakat. Alur berfikirnya adalah pada saat negara dan masyarakat memiliki ideologi yang sama maka konflik-konflik politik yang bersumber pada perbedaan ideologi dapat diredam. Ali Moertopo, salah seorang arsitek Orde Baru, berpandangan bahwa untuk mencapai dan melaksanakan pembangunan masyarakat yaitu dengan cara menghilangkan perbedaaan ideologis dan mengarahkan tindakan politik rakyat kepada loyalitas pada ideologi Pancasila.


Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memasyaratkan ideologi Pancasila diantaranya dengan memasukkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ke dalam kurikulum pendidikan dasar sampai menengah serta penetapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasil (P4) dalam Tap MPR No 4 tahun 1978. Dan yang paling fenomenal adalah pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap partai politik dan ormas di Indonesia, yang dikukuhkan lewat UU No 3 dan UU No 8 tahun 1985.


Dalam praktiknya upaya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara pun dilakukan secara represif. Perlakuan represif pemerintah melalui militer- dapat dilihat pada kasus-kasus yang dikelompokkan sebagai membahayakan eksistensi ideologi negara, seperti kasus Pasukan Jubah Putih di Aceh, Komando Jihad, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng dan lain-lain.


Kelima, memperluas peranan sosial-politik ABRI. Berbeda dari doktrin jalan tengah yang diusulkan Jenderal A.H. Nasution dimana ABRI hanyalah salah satu kekuatan sosial-politik disamping kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya, dibawah Pemerintahan Orde Baru ABRI tampil sebagai kekuatan politik yang paling dominan. Dwi Fungsi ABRI diterjemahkan secara sangat fleksibel, sehingga membuka peluang seluas-luasnya bagi kalangan militer untuk berperan diberbagai bidang non-Hankam. Keterlibatan ABRI tidak saja terjadi di bidang eksekutif, tetapi juga di bidang legislatif, yudikatif, pada berbagai bidang ekonomi dan sosial, termasuk olahraga. Perluasan peranan sosial-politik ABRI mau tidak mau semakin mempersempit ruang gerak masyarakat untuk bertindak secara otonom dan mandiri, karena ABRI merupakan kekuatan utama pihak eksekutif yang sekaligus juga memiliki monopoli terhadap hak penggunaan kekerasaan.


Keenam, seperti yang disorot oleh Maswadi Rauf, elit politik Orde Baru menjalankan strategi penguasaan atas MPR dan DPR dalam kerangka menghimpun kekuasaan politik dan mempertahankannya selama 32 tahun (Maret 1966-Mei 1998). Kedua lembaga perwakilan rakyat tersebut yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang terhadap kekuasaan presiden dibuat tidak berdaya. Penguasaan Soeharto atas kedua lembaga tersebut dilakukan dengan menciptakan beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, sebanyak 500 orang anggota MPR yang berjumlah 1.000 itu, dan tergabung dalam Utusan Daerah, Utusan Golongan, dan tambahan bagi Golkar, PPP, PDI, dan ABRI, diangkat oleh presiden. Kedua, sejumlah 75 orang dari anggota MPR yang berasal dari DPR diangkat oleh presiden. Mereka ini terkabung dalam Fraksi ABRI di DPR. Ketiga, mayoritas anggota DPR dikuasai oleh Golkar yang berkisar antara 62%-74%. Keempat, adanya pengebirian terhadap PPP dan PDI yang membuat kedua partai ini tidak bebas bergerak dan berpendapat. Ketujuh, diterapkannya berbagai undang-undang dan peraturan yang membatasi kebebasan menyatakan pendapat atau melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memperdayakan masyarakat. Seperti undang-undang anti-subversi, SIUPP dan undang-undang yang membatasi gerak langkah LSM merupakan sebagian contoh dari hambatan-hambatan yang diciptakan pemerintah untuk mengendalikan dan membatasi partisipasi politik masyarakat.


Di sisi lain pemerintah Orde Baru membentuk organisasi korporatis yang ditujukan untuk memobilisasi dan sekaligus mengendalikan kegiatan berbagai kelompok masyarakat, seperti kelompok buruh, pemuda, wanita dan wartawan. Pemerintah sama sekali tidak dapat menerima organisasi-organisasi independen, karena kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang demikian dianggap menggerogoti kewibawaan pemerintah.


Periode Reformasi (1998 - Sekarang)

Periode ini ditandai oleh mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa ini berdampak kedalam banyak aspek yang pada masa kekuasaannya 29 tidak terbayangkan dapat terealisir. Pelbagai implikasi itu bermuara kepada satu hal bahwa publik memperoleh ruang bebas dalam mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya. Dalam konteks tema tulisan ini adalah penting mengetengahkan kebijakan Presiden B. J. Habibie mengenai partai politik, pemilu, serta SU MPR.


Pertama adalah soal kebijakan pembebasan pendirian partai-partai politik yang Habibie lontarkan pertama kali ? masih dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden -tatkala menerima kunjungan 45 pemimpin ormas Islam dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipimpin Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri, di Bina Graha, Jakarta (19 Mei 1998). Dalam pertemuan itu ia menyatakan semua pihak boleh mendirikan partai baru asal tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tidak mempersoalkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).


Puncak dari perubahan politik yang diambil oleh Presiden B. J. Habibie adalah penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) MPR 1999 yang diadakan pada tanggal 10-13 November 1998. SI MPR merupakan keharusan politik yang mesti diambil oleh BJ. Habibie agar langkah-langkah reformasi bisa berjalan secara terarah dan konsisten. Dalam SI MPR tersebut, walaupun komposisi keanggotaan MPR masih merupakan produk Pemilu 1997, akan tetapi telah diambil sejumlah produk konstitusional yang signifikan bagi perkembangan Indonesia ke depan. Pelbagai produk konstitusional yang dimaksud itu adalah pemilu multipartai, yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999, penghapusan Pancasila sebagai asas tunggal, dan pengurangan kursi TNI/Polri di DPR/MPR. Di samping itu, amandemen UUD 1945 yang selama Pemerintahan Soeharto ditabukan, di era reformasi ini dilaksanakan. Mengenai pemilu, perubahan paling mendasar dalam format pemilu yang diintrodusir melalui UU No. 3 tahun 1999 adalah restrukturisasi organisasi penyelenggaraan pemilu yang tidak lagi didominasi oleh unsur pemerintah.


Dengan perubahan ini maka substansi format pemilu baru adalah: Pertama, adanya kebebasan memilih bagi masyarakat; Kedua, terbukanya peluang kompetisi di antara partai partai politik peserta pemilu sebagai konsekuensi logis adanya kemerdekaan berserikat bagi masyarakat; Ketiga, berkurangnya secara signifikan peluang bagi birokrasi untuk mendistorsikan proses pemilu sebagai konsekuensi logis dari tuntutan netralitas birokrasi di satu pihak, dan pembatasan keterlibatan unsur-unsur pemerintah di dalam hampir semua tingkat organisasi-organisasi masyarakat. Keempat, keterlibatan kalangan domestik maupun internasional untuk ikut melakukan pengawasan terhadap hampir semua proses pemilu.


Mengenai pendirian partai politik di era Presiden B. J Habibie ini hingga tenggat waktu yang ditentukan, ada 148 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman. 141 diantaranya memenuhi syarat administrasi dan disahkan sebagai partai politik, tujuh gagal dan dua partai lainnya mengundurkan diri. Ibaratnya, setelah sekitar empat dekade terkubur, sukma Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta No X tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai-partai politik kembali muncul ke permukaan. Partai politik yang lolos seleksi administrasi ini masih diharuskan mendaftar dan mengikuti tahap seleksi yang dilakukan P3KPU (Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum) atau yang lebih dikenal dengan Tim Sebelas. Hingga 27 Februari 1999, hanya 106 partai yang mendaftar kembali, 60 partai diantaranya dinyatakan memenuhi syarat administrasi dan siap =20 diverifikasi.


Kemudian pada tanggal 4 Maret 1999, Tim 11 memutuskan 48 partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 1999. Sedangkan untuk Pemilu 2004, jumlah partai politik peserta pemilu menjadi hanya 24 partai politik.


Hasil Pemilu 1999 cukup mengejutkan dimana Golkar yang tampil perkasa dalam setiap pemilu yang digelar di era Orde Baru menderita kekalahan untuk pertama kalinya. Pemenang pertama dalam Pemilu 1999 adalah PDI Perjuangan, yang banyak disokong oleh infrastruktur yang dimiliki PDI serta keinginan sebagian besar masyarakat yang menghendaki perubahan. PDI Perjuangan juga diuntungkan oleh kehadiran figur Megawati Soekarnoputeri yang kala itu disimbolkan sebagai wakil dari kaum tertindas.

Adapun Golkar dalam pemilu pertama di era reformasi ini menduduki urutan kedua. Namun pada pemilu legislatif di tahun 2004, Partai Golkar kembali meraih urutan pertama dan berada pada posisi kedua adalah PDI Perjuangan (lihat tabel). Dengan demikian walau sempat mengalami kekalahan pada Pemilu 1999, Partai Golkar tetap mampu bertahan menjadi salah satu partai yang diperhitungkan hingga saat ini.


Pemilu di era reformasi ini menjadi menarik untuk dicermati. Bukan saja oleh karena inilah pemilu yang relatif demokratis seusai Pemilu 1955 itu, namun juga oleh sejumlah faktor berikut. Pertama, pemilu ini dari segi kualitas sistem dan penyelenggaraannya diyakini berbeda secara signifikan dengan pemilu-pemilu dibawah Orde Baru yang karena karakter hegemoniknya seluruh proses pemilu dibawah kontrolnya. Hasil pemilu-pemilu Orde Baru sudah diketahui, termasuk siapapemenang pemilu itu sendiri, bahkan sebelum pemilu itu sendiri terselenggara. Kedua, militer yang sepanjang lebih dari tiga dasawarsa menjadi pilar utama penguasa politik berada di bawah tekanan politis dan moral, yakni agar tidak berkecimpung lagi di dunia politik. Kehadiran militer yang tidak berpihak itulah atau dikenal sebagai militer profesional- yang menjadi salah satu corak penting yang membedakan pemilu kali ini beda dengan pemilu-pemilu di bawah rezim Orde Baru.


Ketiga, ada semacam keyakinan kolektif bahwa pascapemilu ini bakal melahirkan pemerintahan yang tidak saja legitimate tapi juga bisa dipercaya kalangan pasar domestik maupun mancanegara sehingga mampu membawa negeri ini keluar dari krisis yang membelenggunya.


Pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR berhasil mengamandemen UUD 1945 tahap keempat, menyusul tiga tahap amandemen sebelumnya yang total menghabiskan masa empat tahun pembahasan. Hasil amandemen UUD 1945 itu membuat wajah sistem ketatanegaraan kita berubah secara mendasar. Yakni, pertama, parlemen terdiri dari dua kamar: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang seluruhnya dipilih melalui pemilu. Kedua, untuk pertama kali rakyat akan menentukan secara langsung presiden dan wakil presidennya. Dengan demikian wewenang dalam menentukan pemimpin negeri ini tidak lagi dimonopoli MPR seperti masa sebelumnya. Ketiga, kekuasaan kehakiman tidak lagi tersentralisir di tangan Mahkamah Agung, namun tersebar ketiga lembaga: Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Dengan pembagian kewenangan yang berbeda diharapkan ketiga lembaga ini mampu menegakkan keterpurukan masalah kehakiman yang membekap negeri ini.


Jika dikaitkan dengan peran partai politik, hasil amandemen itu berdampak pada eksistensi partai yang menjadi kuat yang bahkan mampu menghadirkan fenomena supremasi partai yaitu dominasi orang-orang partai dihampir seluruh aspek bernegara dan bermasyarakat. Dominasi itu secara nyata tercermin dari dua klausul berikut: (1) Parlemen dihuni minimal duapertiga dari kalangan partai politik dengan menyisakan maksimal satupertiga dari unsur perwakilan daerah (DPD); (2) Calon presiden dan wakil presiden bisa diajukan hanya melalui partai politik.


Di sisi lain, peranan kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga kuat di era reformasi ini. Mereka yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, pers, mahasiswa, buruh, petani, dan lain sebagainya mendapakan ruang yang leluasa untuk mengekspresikan pendapat serta memperjuangkan aspirasi mereka. Mereka kerap mampu mempengaruhi secara signifikan kebijakan pemerintah, dan bahkan kelompok-kelompok ini berperan besar dalam proses penjatuhan pemerintah. Seperti yang ditunjukkan dalam kasus jatuhnya Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid. Jadi di era reformasi ini bukan hanya partai politik yang berada dalam lingkaran sistem politik yang memiliki peranan besar, namun juga kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga mengalami hal yang serupa.

Siswa Sekolah